Koran Mandala – Resah dan kecewa. Dua perasaan itu menyeruak di kalangan wartawan Kota Bandung usai menyimak ucapan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dalam video yang beredar di YouTube. Bagi mereka, bukan sekadar ucapan biasa, tetapi berpotensi merusak relasi profesional antara pemerintah dan pers.

Ucapan Dedi yang disampaikan dalam rapat bersama Komisi II DPR RI dan para gubernur di Senayan, lalu diunggah ke kanal YouTube Warta Kota Production, menjadi sorotan tajam. Dalam video itu, Dedi menyinggung belanja iklan pemerintah yang bisa ditekan karena viralnya konten pribadinya, dari Rp50 miliar menjadi hanya Rp3 miliar. “Alhamdulillah dari konten yang saya miliki itu bisa menurunkan belanja rutin,” ucapnya.

Haru Suandharu: Gaya Kepemimpinan One Man Show Dedi Mulyadi Berbahaya

Meski dimaksudkan sebagai efisiensi anggaran, namun bagi para jurnalis, pernyataan itu menyiratkan pesan lain—bahwa peran media dapat digantikan oleh konten milik pribadi. Sebuah asumsi yang dinilai keliru dan berbahaya.

“Ucapan itu merendahkan profesi wartawan. Kita ini bekerja sesuai undang-undang dan memiliki legalitas dari perusahaan pers,” kata Akbar, wartawan Republikan.co, usai peliputan di DPRD Jabar, Sabtu 17 Mei 2025.

Menurutnya, dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan bukan sekadar merekam fakta, tapi juga menjembatani kepentingan publik dengan narasumber. Narasi yang disampaikan Dedi, menurutnya, dapat menciptakan jarak dan bahkan memicu ketegangan antara jurnalis dan lembaga pemerintah.

Tak hanya soal penghematan anggaran, ucapan Dedi yang menanggapi label “Gubernur Konten” dari Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud juga dianggap memberi gambaran bias tentang kerja-kerja komunikasi publik. “Media punya standar dan etika. Tidak semua bisa digantikan dengan kamera ponsel dan unggahan viral,” ujar Bagus, jurnalis yang rutin meliput di DPRD Jabar.

Lebih lanjut, Adems dari BandungPos.com menyatakan bahwa Dedi seolah memosisikan diri seperti pedagang yang ‘berjualan konten’ atas nama bantuan sosial. “Sumbangan dibuatkan konten, lalu viral, lalu dapat cuan. Ini bukan sekadar soal iklan, ini soal etika,” katanya.

Para jurnalis ini berharap, Dedi Mulyadi sebagai pejabat publik sekaligus figur panutan, bisa lebih arif dalam menyampaikan pernyataan—terutama yang menyangkut profesi wartawan dan peran media dalam demokrasi. Sebab, relasi sehat antara pers dan pemerintah adalah syarat penting bagi lahirnya informasi yang berimbang dan mencerahkan publik.

“Kalau semua pejabat berpikir media bisa digantikan konten pribadi, ini akan membahayakan kebebasan pers,” pungkas Akbar.

Penulis.

Leave A Reply

Exit mobile version