Penggunaan drone shot di sini bukan sekadar pemanis visual. Ia menjadi alat untuk menunjukkan skala persoalan, betapa kecilnya seorang petani di hadapan raksasa korporasi. Ia memberi perspektif ‘mata Tuhan’ yang dingin, yang justru semakin menonjolkan ketidakadilan yang terjadi di bawah sana. Ditambah lagi, kepiawaian WatchDoc dalam merangkai footage arsip dengan gambar-gambar masa kini membuat argumen film ini terasa solid: bahwa apa yang terjadi hari ini adalah gema panjang dari masa lalu.
Bukan Cuman Dirty Vote, Inilah 7 Rekomendasi Film Garapan Dandhy Dwi Laksono
Departemen suara juga tak kalah penting. Film ini membiarkan suara-suara asli berbicara lantang. Gemerisik dedaunan, deru mesin, teriakan demonstran, hingga isak tangis yang tertahan, semuanya menjadi bagian dari orkestrasi narasi. Musik hanya hadir sesekali, sebagai penekanan, bukan sebagai ‘peredam’ kenyataan. Justru, seringkali keheningan—atau suara alam yang nyaris tak terdengar—digunakan untuk membangun momen perenungan yang kuat.
Bukan Sekadar Film, Ini Pernyataan Sikap
Pada akhirnya, “Colonial Debris” adalah sebuah karya sinematik yang utuh. Ia berhasil membuktikan bahwa film dokumenter bisa, dan seharusnya, lebih dari sekadar penyampai informasi. Ia adalah alat untuk merasakan, merenung, dan mempertanyakan. WatchDoc, lewat film ini, tidak hanya menyajikan data sejarah atau potret konflik; mereka menyajikan sebuah pengalaman, sebuah perjumpaan emosional dan intelektual dengan realitas agraria Indonesia.
Menonton “Colonial Debris” mungkin akan terasa menyesakkan, bahkan membuat marah. Tapi itulah, barangkali, fungsi sinema dalam wujud terbaiknya: bukan untuk menghibur semata, tapi untuk mengganggu tidur nyenyak kita, memaksa kita melihat apa yang seringkali sengaja kita abaikan. Dan WatchDoc, sekali lagi, berhasil melakukannya dengan tajam dan berkelas. Ini bukan hanya film, ini adalah saksi sejarah sekaligus pernyataan sikap. (FMA)