Koran Mandala – Indonesia saat ini tercatat sebagai negara berpenduduk sekitar 285 juta jiwa dan telah dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper middle-income state) dengan pendapatan per kapita di atas US$4.500 per tahun. Status ini menuntut Indonesia untuk menggunakan standar garis kemiskinan internasional sebesar US$6,85 per hari, bukan lagi mengacu pada garis kemiskinan era lama yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Namun, hingga kini, BPS masih menggunakan standar garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, yang didasarkan pada pengeluaran makanan (sekitar 74,5%) dan non-makanan (25,5%) seperti perumahan, pendidikan, transportasi, dan kesehatan. Padahal, struktur pengeluaran masyarakat Indonesia saat ini sudah berubah drastis, di mana banyak keluarga menghabiskan hingga 50% dari pendapatannya untuk KPR atau sewa rumah, dan pengeluaran untuk pendidikan serta transportasi melebihi konsumsi makanan.
Perbedaan Garis Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia: Dampak pada Data Kemiskinan
Bank Dunia mencatat bahwa 60% penduduk Indonesia — sekitar 171,9 juta orang — masih hidup di bawah standar kemiskinan internasional sebesar US$6,85 per hari. Ini menandakan bahwa meskipun angka kemiskinan versi BPS menunjukkan penurunan (8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024), realitas kemiskinan yang sesungguhnya jauh lebih besar dan kompleks.
Implikasi Serius Terhadap Kebijakan Publik
Menggunakan data yang tidak representatif dapat mengarah pada kebijakan yang menyesatkan. Jika pemerintah terus mengandalkan data lama dengan metodologi usang, maka program pengentasan kemiskinan berisiko tidak menyentuh akar persoalan. Kebijakan seperti bantuan sosial, subsidi, dan program peningkatan kesejahteraan tidak akan efektif bila tidak didasarkan pada data yang relevan dan metodologi yang modern.
Lebih jauh, ini juga menimbulkan pertanyaan besar tentang validitas data kemiskinan BPS sebagai dasar perumusan kebijakan publik: apakah data ini benar-benar mencerminkan kondisi nyata, atau sekadar alat pencitraan dan propaganda? Sebab, data yang tidak jujur hanya akan melahirkan kebijakan semu dan memperkuat ketimpangan sosial dalam jangka panjang.
Tantangan Moral dan Sosial bagi Pemerintahan
Pemerintah yang terus membangun narasi sukses ekonomi namun menutup mata terhadap standar hidup rakyat, sesungguhnya sedang membentuk spiral kebohongan publik. Ketika satu kebohongan ditutup dengan kebohongan baru, maka bangsa ini sedang menanam bom waktu yang suatu saat bisa meruntuhkan sendi-sendi peradaban dan kepercayaan rakyat terhadap negara.
Negara hanya akan benar-benar sejahtera jika berani jujur terhadap realitas dan menggunakan data sebagai dasar kebijakan, bukan sekadar alat pencitraan untuk kepentingan politis. Kesejahteraan, daya beli, kecerdasan bangsa, dan kualitas kesehatan tidak akan membaik jika pemerintah menutup mata terhadap kenyataan di lapangan.
Sudah saatnya pemerintah jujur dan bekerja bukan sekedar untuk pencitraan, tapi semata-mata demi meningkatkan kesejahteraan publik hari ini dan di masa yang akan datang.
Jika pun standar dan metode Bank Dunia dinilai tidka sepenuhnya tepat. Setidaknya pemerintah berani merevisi standar kemiskinan nasional sesuai klasifikasi pendapatan negara saat ini dan struktur pengeluaran masyarakat modern.
Tunjukkan komitment yang kuat untuk meningkatkan transparansi dan akurasi data, serta membuka ruang partisipasi publik dalam evaluasi kebijakan.
Beri bukti bahwa pemerintah masih on the track menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai pusat kebijakan, bukan sekadar angka-angka kosmetik di laporan pembangunan.
Dengan demikian, kita tidak hanya bangga sebagai bagian dari G20, tetapi juga mampu menunjukkan bahwa status itu tercermin dalam peningkatan kualitas hidup nyata bagi mayoritas rakyat Indonesia.