Oleh: Iwan Kurniawan

(Opini ini merupakan pengembangan sesi diskusi virtual dengan Tjok Gde Kerthyasa saat sesi instagram live pada kanal @anthroposophy.indonesia)

 

Kita hidup di persimpangan zaman. Kemajuan teknologi melesat bak anak panah, namun di sisi lain, planet ini mengerang, tatanan sosial terasa semakin rapuh, dan banyak di antara kita merasakan kekosongan jiwa yang menganga. Di tengah deru modernitas yang acap kali membingungkan ini, sebuah pertanyaan fundamental menggema: ke mana kita akan melangkah, dan bekal apa yang sesungguhnya kita butuhkan? Saya percaya, jawaban atas kegelisahan ini tidak melulu terletak pada inovasi-inovasi baru yang terputus dari akar, melainkan pada kemampuan kita untuk kembali merajut dialog antara kearifan lokal dengan wawasan spiritual modern yang mencerahkan. Inilah titik di mana perjumpaan antara antroposofi, ilmu pengetahuan spiritual yang digagas Rudolf Steiner, dengan kekayaan falsafah kebudayaan nusantara menjadi bukan hanya relevan, tetapi juga esensial.

Perjumpaan ini bukanlah sebuah upaya akademis semata untuk mencari-cari kesamaan, melainkan sebuah panggilan untuk menemukan kembali prinsip-prinsip universal yang dapat menuntun kita menuju cara hidup yang lebih utuh, seimbang, dan bermakna. Ini adalah tentang membangun sebuah “kosmologi baru” yang berakar pada kearifan masa lalu sekaligus antisipatif terhadap tantangan masa depan, sebuah kosmologi di mana manusia, alam, dan dunia spiritual tidak lagi dipandang sebagai entitas yang terpisah.

Alam Semesta sebagai Cermin Jiwa: Relasi Sakral dalam Tradisi dan Antroposofi

Salah satu pilar utama dalam dialog ini adalah bagaimana kita memandang dan berinteraksi dengan alam semesta. Krisis ekologi global saat ini adalah cermin dari cara pandang antroposentris yang telah mereduksi alam menjadi sekadar sumber daya. Kebudayaan nusantara, dalam beragam manifestasinya, menawarkan perspektif yang jauh lebih arif. Ambil contoh konsep Tri Hita Karana dari Bali. Ini bukan sekadar slogan pariwisata, melainkan sebuah filsafat hidup yang mengakar kuat, yang mengajarkan bahwa kebahagiaan dan keharmonisan sejati hanya dapat dicapai melalui keseimbangan tiga hubungan fundamental: Parahyangan (harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa), Pawongan (harmoni dengan sesama manusia), dan Palemahan (harmoni dengan alam lingkungan). Dalam konteks Palemahan, alam tidak dilihat sebagai objek mati, melainkan sebagai ruang hidup yang sakral, yang harus dijaga, dihormati, dan dirawat. Kita melihat pengejawantahannya dalam sistem irigasi subak yang adil dan berkelanjutan, yang bahkan diakui sebagai warisan dunia karena kemampuannya menjaga keseimbangan ekosistem sawah selama berabad-abad. Tata ruang desa adat Bali juga secara cermat memperhatikan keselarasan kosmis, membagi ruang berdasarkan orientasi spiritual dan fungsional yang menghormati alam. Berbagai ritual, seperti Tumpek Uduh yang dipersembahkan untuk tumbuh-tumbuhan atau Tumpek Kandang untuk hewan ternak, adalah wujud nyata dari rasa syukur dan upaya menjaga keselarasan dengan seluruh makhluk hidup. Ini adalah kesadaran mendalam bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan yang saling menghidupi, bukan hubungan subjek-objek yang eksploitatif.

Senada dengan itu, masyarakat Sunda mengenal kearifan Pamali. Seringkali disalahartikan sebagai takhayul semata oleh pandangan modern yang dangkal, pamali sesungguhnya adalah sistem etika ekologis dan sosial yang canggih, diwariskan turun-temurun untuk menjaga harmoni. Misalnya, pamali “ulah nuar tangkal sisi cai, bisi caah” (jangan menebang pohon di tepi sungai atau mata air, nanti banjir atau mata airnya mati) adalah pengetahuan hidrologi yang sangat fundamental, yang dibungkus dalam norma adat agar ditaati. Ada pula pamali yang melarang mengambil hasil hutan atau hasil sungai pada waktu-waktu tertentu, atau dengan cara-cara yang merusak; ini adalah mekanisme tradisional untuk menjaga siklus reproduksi flora dan fauna, sebuah bentuk “Sasi” ala Sunda yang memastikan keberlanjutan sumber daya. Contoh lain yang sangat jelas nilai konservasinya adalah pamali “ulah moro uncal anu keur reuneuh” (jangan berburu rusa yang sedang bunting). Ini adalah aturan yang lahir dari kearifan mendalam untuk menjaga keberlangsungan spesies. Lebih jauh dari sekadar aturan ekologis, pamali juga mengatur perilaku sosial, mengajarkan sopan santun, dan penghormatan terhadap leluhur atau kekuatan tak kasat mata yang diyakini menjaga tempat-tempat tertentu (seperti hutan larangan atau mata air keramat). Di balik larangan-larangan ini, terkandung nilai penghargaan terhadap alam sebagai entitas yang memiliki hak untuk hidup dan berkembang, serta kesadaran bahwa tindakan manusia memiliki konsekuensi ekologis dan spiritual yang tak terhindarkan.

Komunitas Anthroposophy Bandung Raya Gelar Kegiatan Study Group dan Art Theraphy

Perspektif antroposofi Rudolf Steiner memberikan gema yang kuat terhadap kearifan-kearifan ini. Steiner memandang alam semesta sebagai organisme hidup yang dinamis, bukan mesin mati yang bisa dibongkar pasang sesuka hati. Pertanian biodinamik, salah satu praktik yang lahir dari antroposofi, adalah upaya konkret untuk bekerja selaras dengan kekuatan kehidupan di alam, memperhatikan ritme kosmis (seperti fase bulan dan posisi bintang dalam kalender tanam), dan menggunakan preparat alami dari tumbuhan serta mineral untuk menyuburkan tanah dan meningkatkan vitalitas tanaman. Antroposofi juga berbicara tentang keberadaan makhluk-makhluk elemental yang bekerja di alam (seperti gnome yang berkaitan dengan tanah, undine dengan air, sylph dengan udara, dan salamander dengan api), sebuah pandangan yang, meski menggunakan terminologi berbeda, sejajar dengan penghormatan berbagai tradisi dalam kebudayaan nusantara terhadap “penunggu” atau roh-roh penjaga alam. Keduanya sama-sama menyerukan sebuah relasi yang partisipatif dan penuh hormat dengan alam, bukan dominasi yang merusak.

Moralitas dari Kedalaman Batin: Etika Nusantara Bertemu Kebebasan Spiritual Steiner

Selain hubungan dengan alam, titik temu krusial lainnya terletak pada pemahaman tentang tindakan etis dan evolusi kesadaran manusia. Di tengah zaman yang seringkali mengagungkan kepentingan pribadi dan kepatuhan buta pada aturan formal, baik antroposofi maupun falsafah kebudayaan nusantara mengajak kita untuk menemukan sumber moralitas dari dalam diri. Falsafah Jawa, misalnya, mengenal konsep rasa – sebuah kemampuan intuitif untuk menangkap kebenaran dan kebaikan yang melampaui logika formal. Tindakan yang lahir dari rasa kang sejati (rasa yang sejati) adalah tindakan yang selaras dengan tatanan kosmis dan hati nurani. Demikian pula semangat silih asih, silih asah, silih asuh (saling mengasihi, saling mengasah/mengajari, saling menjaga) dalam budaya Sunda, atau praktik gotong royong yang melintasi batas etnis, menunjukkan bahwa moralitas sejati tumbuh subur dalam kesadaran akan keterhubungan dan tanggung jawab komunal.

Rudolf Steiner, melalui Filsafat Kebebasan-nya, menawarkan landasan filosofis bagi moralitas yang lahir dari kebebasan spiritual individu. Ia berpendapat bahwa tindakan moral tertinggi adalah yang muncul dari “intuisi moral” – kemampuan untuk menangkap ide-ide moral secara langsung dari dunia spiritual – dan diwujudkan melalui “imajinasi moral” oleh seorang individu yang bebas. Ini bukan tentang mengikuti perintah eksternal, melainkan tentang bertindak berdasarkan pemahaman dan cinta kasih yang lahir dari kesadaran diri yang mendalam. Ada kesejajaran yang kuat di sini dengan penekanan berbagai tradisi kebudayaan nusantara pada olah batin dan laku spiritual sebagai jalan untuk mencapai kebijaksanaan dan perilaku yang luhur.

Perjalanan Evolusi Kesadaran: Manusia Menuju Keutuhan Spiritual

Lebih jauh, baik antroposofi maupun kebudayaan nusantara memandang manusia sebagai makhluk spiritual yang sedang dalam perjalanan evolusi kesadaran. Konsep Sangkan Paraning Dumadi dalam kearifan Jawa, yang secara harfiah berarti “asal dan tujuan keberadaan,” adalah sebuah peta jalan spiritual yang mendalam, memandu manusia untuk memahami dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Berbagai praktik olah batin seperti semedi, tapa, atau ngaji rasa adalah sarana untuk menapaki perjalanan ini. Antroposofi, dengan konsepnya tentang Fourfold Human Constitution (badan fisik, badan eterik/kehidupan, badan astral/jiwa, dan “Aku”/Roh) dan evolusi kesadaran melalui berbagai zaman budaya serta dalam kehidupan individual, menawarkan kerangka pemahaman yang kaya. Pendidikan Waldorf, sebagai salah satu buahnya, bertujuan untuk menutrisi perkembangan seluruh aspek kemanusiaan ini secara harmonis, membantu setiap individu untuk merealisasikan potensi spiritualnya dan menjadi agen perubahan yang positif di dunia.

Workshop Hidup Sehat Berkesadaran, Dr Joen Oon: Apa yang Dimakan Bisa Pengaruhi Kehidupan Sehari-hari

Merajut benang merah antara antroposofi dan falsafah kebudayaan nusantara bukanlah upaya untuk mereduksi kekayaan masing-masing tradisi. Sebaliknya, ini adalah tentang saling memperkaya, saling menerangi, dan menemukan prinsip-prinsip universal yang dapat menjadi bekal kita bersama. Indonesia, dengan warisan budayanya yang luar biasa, memiliki peran unik untuk dimainkan. Kita tidak hanya menjadi pewaris, tetapi juga penggali dan pengembang kearifan ini agar relevan dengan tantangan zaman. Dengan membuka diri pada dialog yang konstruktif antara kearifan leluhur dan wawasan spiritual modern, kita dapat berharap untuk membangun fondasi bagi masa depan yang lebih berjiwa, lebih adil, dan lebih selaras dengan irama semesta. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga menghidupkan kembali dan mengembangkan warisan luhur ini dalam tindakan nyata sehari-hari.

Penulis adalah CEO Koran Mandala, Anggota Dewan Pembina Asosiasi Waldorf Steiner Indonesia dan co-founder Sekolah Jagad Alit Waldorf di Bandung.

Writing is a self-healing

Leave A Reply

Exit mobile version