Oleh: Widi Garibaldi

 

Berawal dari  kata “vrijman”, dari bahasa Belanda yang berarti “orang bebas” sehingga merasa tak terikat apa-apa,kosa kata itu kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Jadilah dia “preman”, merujuk pada orang atau kelompok yang merasa dirinya bebas, tak terikat pada peraturan apa dan dari manapun.

Merasa diri tak harus tunduk di bawah peraturan perundang-undangan, membuat individu atau group ini merasa berhak melakukan apapun yang dikehendakinya. Untuk mewujudkan kehendaknya itu, mereka hidup berkelompok, menggunakan atribut dari kelompok yang disegani masyarakat misalnya baju loreng dan baret merah.

Nah, daripada terlibat urusan yang bertele-tele, siapapun merasa lebih baik memenuhi permintaan para preman ini. Celakanya, hari ini dipenuhi, sang preman besok datang lagi. Begitu seterusnya. Akhirnya, para pedagang K-5, yang semuanya terdiri dari pedagang-pedagang kecil yang mencari sesuap nasi, terpaksa harus menyisihkan keuntungan yang tak seberapa untuk memenuhi kehendak sang preman yang tak punya belas kasihan.

Sinergi TNI dan Pemkab Kuningan Perkuat Stabilitas dan Cegah Premanisme

Selain preman-preman yang berkeliaran mencari korban di pasar-pasar, dikenal pula preman-preman kelas kakap yang berlindung dalam suatu organisasi kemasyarakatan  yang tunduk di bawah UU No. 17 Tahun 2013. Organisasi yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini semula dimaksudkan secara sukarela untuk berpartisipasi dalam Pembangunan.

Tapi lacur. Banyak di antaranya digunakan untuk memereteli dan mencicipi paksa “hasil” Pembangunan itu sendiri. Karena itu banyak calon investor yang berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Adalah Herkules nama ketua ormas yang mempraktikan cara-cara premanisme sehingga menciutkan minat para calon investor itu. Entah siapa yang memberi nama tokoh mitos Yunani yang perkasa itu kepadanya. Nama aslinya adalah Rosario de Marshall,berasal dari Timor Timur. Sebelum beranjak ke Jakarta, ia bekerja sebagai kuli angkut membantu operasi TNI. Kedekatannya dengan TNI dijadikannya modal untuk mengetuai suatu organisasi gangster yang menguasai daerah Tanah Abang.Tampangnya yang sangar, ditambah daerah asalnya yang melahirkan orang-orang berdarah “panas” dan “keras”, menjadikan Herkules tokoh yang ditakuti.

Merasa diri di atas angin karena pernah menjadi “anak pungut” Prabowo yang kemudian menjadi Presiden ke-8 RI serta organisasi bentukannya yang bernama Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) yang  merupakan jaringan politik akar rumput partai Gerindra menjadikan Herkules merasa tak takut kepada siapapun. Tak terkecuali mantan jenderal Kopassus sekalipun seperti Sutioso yang dijulukinya “sudah bau tanah”. Keangkuhannya ini kemudian menimbulkan amarah banyak jawara untuk berduel satu lawan satu.

Menyaksikan kenyataan bahwa para preman itu tidak hanya menjadikan pedagang kaki lima sebagai korban, tetapi juga para pengusaha dan industriawan sehingga dapat melumpuhkan perekonomian bangsa, memaksa Polisi melakukan operasi besar-besaran untuk membasmi praktik-praktik pemerasan,pemalakan yang dikenal sebagai praktik premanisme itu.

Mengingat para penegak hukum khususnya Polri bukan barisan pemadam kebakaran, operasi pembasmian itu tentu saja tak cukup hanya dilakukan sekali saja. Harus dicari penyebab mengapa praktik-praktik premanisme begitu merajalela. Yang pasti, karena selama ini mereka dibiarkan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Akibat sempitnya lapangan kerja, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan mudah walau bertentangan dengan peraturan.

Jadi, akar masalahnya adalah ketidak mampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja dan lemahnya law enforcement. Nah, kalau ingin premanisme lenyap, jaga agar perekonomian berjalan lancar dan hukum berdiri dengan tegak.

Leave A Reply

Exit mobile version