Oleh:
Widi Garibaldi
Akhirnya, SSS mahasiswi Seni Rupa dan Design ITB itu dilepaskan Polisi dari tahanan. Ia diciduk dari tempat kosnya di Jatinangor. Polisi menahannya karena dituduh melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU No.11/2008 tentang ITE yang dituduhkan kepadanya memang bersifat karet.
Pasal itu mengatur pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan tertentu. Seperti ikan yang mengambang di permukaan air, apa yang dilakukan oleh sang mahasiswi dengan mudah dapat dijaring dengan pasal karet ini. Apalagi yang dilakukan oleh sang mahasiswi adalah membuat meme berupa gambar tak pantas antara Presiden ke-7 dan ke-8 RI.Kemudian gambar itu diunggahnya melalui medsos miliknya.
ITB Dampingi Mahasiswi FSRD yang Ditangkap Terkait Meme Presiden Jokowi-Prabowo
Karena dianggap melakukan penghinaan terhadap Prabowo dan Jokowi sebagai Presiden ke-7 dan ke-8 RI, pak Polisi dengan sigap melakukan penangkapan. Sang mahasiswipun akhirnya diamankan.
Kebebasan Berpendapat
Ketika membuat meme itu mungkin sang mahasiswi tak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat ditarik kemana-mana, ibarat karet. Ketentuan Konstitusi yang menjamin kebebasannya untuk mengeluarkan pendapat, seperti diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, sirna. Apalagi yang dihadapinya adalah pucuk kekuasaannegara yang dijadikannya sebagai obyek meme. Tidaklah mengherankan kalau pak Polisi demikian sigap bertindak. Maklum yang dijadikan “mainan” oleh sang mahasiswi adalah atasan langsung dan atasan tertinggi pak Polisi. Karena itu ia segera disekap!
Kalau kemudian sang mahasiswi urung terus ditahan pak Polisi, itu adalah buah dari pernyataan kalangan Istana yang menganggapnya lebih baik di”bina” daripada di proses pidana yang didahului dengan penahanan.
Tidak terlalu jelas mengapa pernyataan pembinaan itu dilontarkan oleh kalangan Istana. Yang jelas, tentu saja bukan karena sang mahasiswi datang dari ITB, kampus yang selama ini dikenal banyak menorehkan cerita melawan kekuasaan.
Pak Polisi, atau siapapun yang digolongkan sebagai penegak hukum nampaknya wajib meniru langkah yang diambil oleh kalangan Istana itu. Terlepas dari kampus mana sang mahasiswi berasal. Kalau dengan cara “dibina”, seseorang dapat menyadari perbuatannya sehingga ia bertekad untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang salah itu, mengapa dia harus ditahan ?
Bukankah, pidana itu merupakan cara atau jalan terakhir untuk ditempuh manakala upaya lain sudah buntu dilakukan ?
Bukankah, Pidana itu merupakan Ultimum Remedium ?