Oleh:
Agus Abubakar
Agama, dalam hakikatnya, adalah jalan untuk mendekatkan manusia pada Sang Pencipta melalui cinta dan kesadaran akan kebenaran sejati. Namun, dalam praktiknya, manusia sering terjerumus dalam dua kutub ekstrem: Tauhid yang murni atau Syirik yang terselubung.
Tauhid bukan sekadar pengakuan lisan tentang keesaan Tuhan, melainkan pembebasan-Nya dari segala bentuk “tuhan” ciptaan pikiran manusia. Tuhan yang Maha Esa tak boleh direduksi menjadi simbol kelompok, dogma kaku, atau kepentingan golongan.
Dongeng Karya Lasminingrat Dihidupkan Lewat Pasanggiri Pelajar Garut
Tauhid adalah pengabdian tulus pada Sang Pencipta, tanpa mencampuradukkan kehendak-Nya dengan hawa nafsu dan prasangka manusia. Kalimat yang paling agung yang diajarkan para nabi: Maha Suci Allah dari semua konsep tentangnya (SubhanaLlah), Segala Puji Bagi Allah (Alhamdulillah), Tiada ilah selain Allah (tiada definisi atau batasan tentangNya) dan Allah maha besar dari semua konsep dan pemikiran kita tentangNya(Allahu Akbar). Tuhan kita adalah Tuhan yang sama, Tuhan Semesta Alam. KepadaNya kita berserahdiri (makna dari kata muslimin). Semua nabi membawa wahyu dan prinsip ajaran yang sama dari Tuhan yang sama. Seandainya semua nabi berkumpul, kalian tidak akan menjumpai perselisihan di antara mereka.
Sebaliknya, Syirik dalam konteks modern sering muncul dalam bentuk pemecahbelahan agama dalam golongan-golongan yang masing-masing bangga dengan apa yang ada pada golongannya Al Qur’an Surat Al-Mukminun: 52-54, Ar-Rum 31-32).
Manusia terjebak dalam fanatisme mazhab, bangga pada pendapat golongannya, lalu menjadikan pikiran dan hawa (keinginan) nafsu (diri) sebagai “tuhan” baru. Mereka lupa bahwa kebenaran agama bukanlah monopoli kelompok tertentu. Kelompok dengan nama baru yang kemudian menggantikan predikat muslim –muslim bermakna tunduk, pasrah, berserah diri kepada Kehendak Tuhan, membawa damai, keselamatan dan kesejahteraan bagi lingkungannya– sebagai predikat utama. Predikat Muslim diberikan oleh ayah para nabi (Abul anbiya’), Ibrahim as (QS Al Hajj:78). Mereka membuat nama-nama baru yang kemudian membuat mereka terkotak-kotak dalam sekat aliran/mazhab/golongan alih-alih membuka pintu cahaya.
Tuhan produk keinginan mereka menjadi dominan, sebagaimana firman Allah: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan keinginan(hawa nafsu)nya sebagai tuhannya…” (QS. Al-Furqan: 43). Syirik seperti ini lebih halus: ia bersembunyi di balik klaim kebenaran, tapi hakikatnya memisahkan manusia dari kasih sayang Ilahi.
Akar masalahnya adalah pendidikan yang menurunkan kedunguan turun-temurun. Sekolah tidak mengajarkan ajaran Tuhan yang universal, tapi terjebak dalam ajaran golongan. Manusia dikondisikan untuk taat buta pada tradisi, tanpa menggali esensi agama. Pengetahuan sesat dan fanatisme menutup pikiran, mengubur tujuan utama beragama: cinta kasih.
Agama lahir dari cinta Sang Pencipta, dijalani dengan cinta pada sesama, dan berujung pada penyatuan dengan Cinta-Nya. Tanpa cinta, agama kehilangan ruhnya, menjadi ritual kering yang memecah belah.
Maka, jalan kembali kepada Tauhid sejati adalah dengan meruntuhkan tembok ego dan fanatisme. Hanya dengan cinta, manusia bisa menyadari bahwa seluruh alam adalah manifestasi kasih-Nya. Sebab, tak ada agama bagi mereka yang hatinya tak dihuni oleh cinta.
Agama itu Cinta dan tiada agama bagi mereka yang tidak ada cinta di hatinya.
Agama itu akal dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal.