Tinggal menghitung hari. Ahad, tanggal 20 Oktober yang akan datang RI 1 yang baru akan dilantik. Joko Widodo tiba waktunya lengser. Jadi rakyat biasa.
Dalam pidato kenegaraan terakhirnya di depan sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR serta DPD RI, sehari sebelum peringatan proklamasi RI, ia tak menyinggung sepatah katapun tentang korupsi. Seharusnya, momentum sekali setahun itu dimanfaatkannya untuk melaporkan kepada rakyat, sejauh mana upaya yang telah dilaksanakannya sebagai Panglima Tertinggi melawan musuh utama bangsa, korupsi.
Khusus dalam pemberantasan korupsi, jabatan tertinggi yang diamanatkan rakyat kepadanya sebagai Presiden, ternyata tak dipenuhinya, kendati dalam kampanye ia telah berjanji akan memerangi dengan sungguh-sungguh para koruptor itu.
Selama 10 tahun menjadi RI 1, data menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang 34 sama saja dengan nilai yang dimiliki Republik ini ketika ia untuk pertama kalinya memenangi Pilpres tahun 2014. Artinya stagnan. Kita tetap menjadi negara terkorup nomor 115 dari 180 negara yang disurvei.
Dibanding negara tetangga, posisi negeri berpenduduk 257 juta ini sungguh memalukan. Jauh di bawah Timor Leste yang mencapai score 43, Vietnam 41, Thailand 35, dan Malaysia 50. Dibanding Singapura, jauh panggang dari api. Negara kota itu berhasil mengantongi IPK 83. Kita hanya berhasil mengungguli negara-negara seperti Myanmar dengan IPK 20, Kambonja 22, Laos 28 dan Pilipina yang 39.
Data-data ini menunjukkan bahwa korupsi masih merajalela di Indonesia. Uang rakyat, aset negara masih menjadi bancakan pejabat, yang dengan leluasa dapat menggerogotinya.
Substansi Hukum yang diacak-acak
Apa yang dikatakan oleh Lawrence Friedman, seorang pengajar dari Stanford Law School ternyata terbukti kebenarannya. Selain budaya dan struktur hukum, substansi hukum itu tidak kalah penting dalam mencapai tujuan dan cita-cita suatu negara. Manakala diselewengkan, tujuan semula akan menyimpang.
Perubahan kedua UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dengan UU No. 19 tahun 2019, menjadikan Lembaga pemberantas rasuah itu berada di bawah komando kekuasaan eksekutif. Artinya, Lembaga itu tidak lagi mandiri sehingga harus manut kehendak pemerintah. Tidak mengherankan manakala pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi “tebang pilih”.
Upaya mengacak-acak substansi hukum di dalam pemerintahan Jokowi mencapai puncak, dengan lahirnya Penetapan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 yang membentangkan karpet merah bagi anak sulungnya untuk menjadi Wakil Presiden. Hukum diakali walau menghalalkan segala macam cara, yakni mengenyampingkan etika dan moral. Pokoknya, tujuan tercapai.
Walau begitu, capaiannya selama 10 tahun menjadi orang nomor satu di Indonesia, tak dapat diabaikan.Terutama di bidang pembangunan fisik Sudah 2.700 km jalan tol yang dibangunnya. 5.999 km jalan baru,125.904 m jembatan, 583 jembatan gantung dan 61 bendungan dengan 4.647.547 ha jaringan untuk mengairi sawah. Melihat hasil pembangunan fisik ini, salah satu lembaga survey melaporkan bahwa tingkat kepuasan rakyat terhadap capaian Presiden Jokowi tak kurang dari 70 %.
Tentu saja utang luar negeri RI yang sudah mencapai Rp6.328 triliun tidak dimasukkan sebagai salah satu faktor penghitung. Soalnya, setiap kepala kita, sebagai warga negara harus menanggung lebih dari Rp24.000.000.- Bukan jumlah yang kecil !
Tentu saja, jumlah utang itu tidak akan menjadi beban bagi Jokowi sebagai Presiden.Itu akan menjadi beban bagi Presiden yang baru. Jokowi sendiri akan meninggalkan istana Negara, 20 Oktober mendatang dengan sumringah. Soalnya uang pensiun sebanyak Rp64.000.000.- per bulan akan dinikmatinya sepanjang hayat dikandung badan. Tempat tinggal ? Istana di desa Blulukan, Colomadu, Karanganyar segera rampung. Di atas tanah tak kurang dari 12.000 m2.
Yang terpenting, apalagi kalau bukan anak jadi Wakil Presiden !