Teori ini menyatakan bahwa semakin banyak waktu yang kita miliki, semakin sedikit usaha yang kita keluarkan.
Sebaliknya, semakin sedikit waktu yang tersedia, justru kita akan bekerja lebih cepat dan efisien.
Dalam konteks ini, orang malas cenderung menyelesaikan tugas dalam waktu singkat karena mereka ingin segera terbebas dari pekerjaan tersebut.
Selain itu, orang malas juga cenderung memilih prioritas yang paling penting.
Mereka tidak mengerjakan banyak hal, namun fokus pada hal-hal yang memiliki dampak besar.
Keterampilan dalam menentukan prioritas merupakan bagian penting dari produktivitas.
Kita bisa memanfaatkan metode Eisenhower Matrix untuk membedakan mana pekerjaan yang penting dan mendesak, penting tapi tidak mendesak, bisa kita delegasikan, atau bahkan tidak penting dan bisa kita abaikan.
Lebih jauh lagi, orang malas sering kali tidak overthinking.
Mereka bekerja dengan lebih santai dan fokus, tanpa terbebani oleh banyak distraksi.
Ini justru membantu meningkatkan kualitas pekerjaan.
Terakhir, mereka juga pintar memanfaatkan teknologi.
Selain itu, daripada mencatat manual, mereka bisa merekam suara dan mengubahnya menjadi teks melalui aplikasi.
Alih-alih meminta feedback secara manual, mereka menggunakan Google Docs untuk kolaborasi yang lebih cepat dan efisien.
Rasa malas bukan selalu musuh produktivitas.
Itulah pembahasan dari Rama Satya tentang mengapa orang malas lebih produktif.
Jika menyikapi ini dengan bijak, justru ada banyak pelajaran penting yang bisa kita ambil untuk bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras. ***