Koran Mandala – Di atas kertas, Manchester United dan Tottenham Hotspur masuk dalam jajaran klub terkaya dan termahal di Premier League. Namun, realitas di lapangan jauh dari kemewahan yang mereka bangun. Musim ini, keduanya terseok-seok di papan tengah, bahkan kerap terlempar dari zona Eropa. Situasi ini mengundang pertanyaan besar: di mana letak salahnya?
Belanja Selangit, Prestasi Sulit
Manchester United menghabiskan lebih dari £200 juta untuk merekrut pemain di awal musim. Tiga nama utama: Rasmus Højlund, Mason Mount, dan Andre Onana, diharapkan mampu memperkuat skuad Erik ten Hag. Namun, hingga pekan-pekan akhir, hasilnya tak sesuai harapan. MU justru tampil tak konsisten, kerap kebobolan, dan terlihat kehilangan arah permainan.
Tottenham atau Manchester United: Siapa yang Lebih Berpeluang Juara Liga Europa 2024/2025?
Tottenham Hotspur tak kalah agresif. Klub asal London Utara itu merekrut James Maddison, Brennan Johnson, serta mempermanenkan beberapa pemain pinjaman. Di awal musim, Spurs bahkan sempat memimpin klasemen. Tetapi cedera dan kartu merah yang datang bertubi-tubi membuat performa mereka anjlok drastis.
Kegagalan Taktik dan Efisiensi
Dari sisi efisiensi, MU mencatat salah satu rasio terburuk di liga. Dengan biaya lebih dari £800 ribu per poin, mereka jauh tertinggal dibanding tim-tim seperti Aston Villa dan Brighton yang punya bujet lebih rendah namun tampil lebih efisien. Strategi rekrutmen MU dinilai tidak selaras dengan kebutuhan taktis tim. Cedera pemain kunci seperti Lisandro Martínez dan Luke Shaw, ditambah penurunan performa Casemiro, semakin memperburuk keadaan.
Spurs sendiri sangat bergantung pada Son Heung-min. Dalam laga-laga di mana Son gagal mencetak gol, rasio kemenangan Spurs anjlok hingga 30%. Ini mengindikasikan krisis ketergantungan pada satu pemain, dan lemahnya kedalaman skuad. Meski rasio belanja per poin mereka sedikit lebih baik dari MU, tetap saja belum mencerminkan efisiensi yang ideal.
Krisis Identitas dan Manajemen Jangka Panjang
Para pengamat menilai bahwa krisis yang dialami MU dan Spurs bukan sekadar masalah teknis di lapangan, melainkan cerminan dari kegagalan manajemen dalam membangun identitas jangka panjang. Tanpa arah taktik yang jelas dan filosofi pengembangan pemain yang kuat, klub sebesar apa pun bisa tersesat di tengah ambisi dan tekanan pasar.
Sementara klub-klub seperti Brighton, Brentford, hingga Aston Villa berhasil menunjukkan bahwa pembangunan tim yang berbasis pada data, scouting yang cermat, serta strategi jangka panjang jauh lebih efektif daripada belanja impulsif.
Paradoks Klub Kaya
MU dan Spurs adalah contoh klasik bahwa uang bukan segalanya dalam sepak bola modern. Tanpa arah yang jelas, belanja besar justru menjadi beban yang membelenggu. Jika tidak segera dilakukan evaluasi menyeluruh, termasuk di level manajerial dan direktur olahraga, keduanya bisa terus tertinggal dari pesaing yang lebih cerdas dalam mengelola sumber daya.