Koran Mandala -Pahalgam yang biasanya tenang dan sejuk, berubah menjadi lautan tangis dan kepanikan. Di tengah liburan musim semi, suara senapan menggema, menghentikan langkah para wisatawan yang datang untuk mencari kedamaian. Di balik tragedi itu, kembali terkuak luka lama antara dua negara bertetangga: India dan Pakistan.
Hari itu, 22 April 2025, Pahalgam—permata wisata Kashmir—seharusnya hanya dipenuhi senyum dan swafoto. Namun, dalam hitungan menit, 26 nyawa wisatawan terenggut oleh rentetan tembakan dari kelompok militan The Resistance Front. Ketegangan pun kembali menggelegak di jantung Himalaya.
Di banyak tempat di India, suasana berkabung berubah menjadi kemarahan. Pemerintah India langsung menuduh Pakistan berada di balik serangan tersebut. Islamabad membantah keras, namun hubungan kedua negara kembali berada di titik nadir.
“Ini bukan hanya soal keamanan, ini soal harga diri,” ujar seorang pejabat senior India di New Delhi.
Dua Bangsa, Satu Luka Bernama Kashmir
Sejak perpisahan berdarah antara India dan Pakistan pada 1947, Kashmir telah menjadi bara dalam sekam. Tiga perang besar—1947, 1965, dan 1999—meletus karena wilayah ini. Setiap gencatan senjata hanya jeda sementara dalam sejarah panjang ketidakpercayaan.
Kini, dengan senjata nuklir dalam genggaman keduanya, setiap percikan bisa berubah menjadi kobaran besar.
Ketegangan Baru: Diplomasi Membeku
Sebagai respons terhadap serangan tersebut, India mengambil langkah-langkah ekstrem: memutus perdagangan, menutup wilayah udara, hingga melarang kapal Pakistan berlabuh. Bahkan, Perjanjian Pembagian Air Sungai Indus yang telah berlangsung lebih dari 60 tahun—diambang kehancuran.
Pakistan pun tak tinggal diam. Wilayah udara ditutup bagi pesawat India, diplomat diusir, dan peringatan keras dilontarkan: gangguan terhadap aliran sungai akan dianggap sebagai “tindakan perang.”
Di Balik Perbatasan, Manusia Menangis
Namun di luar layar diplomasi dan militerisme, ada jutaan warga biasa yang kembali menjadi korban. Keluarga wisatawan yang tewas, penduduk Kashmir yang ketakutan, dan warga di perbatasan yang menanti nasib dengan cemas.
Imran, seorang pedagang teh di Muzaffarabad, Kashmir Pakistan, berkata pelan, “Setiap kali ada serangan, kami menderita. Tapi kami tidak pernah ditanya apa yang kami inginkan.”
Penutup: Harapan dalam Kabut
Dunia kini menanti, akankah dua negara besar Asia Selatan ini kembali terjerumus dalam siklus balas dendam? Atau adakah ruang untuk berdamai, meski sekecil harapan di balik kabut Himalaya?
Sejarah memang tidak bisa diubah. Tapi masa depan, masih bisa ditulis ulang—jika kedua pihak mau mendengarkan suara rakyat mereka yang menginginkan satu hal: hidup damai.