Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
BEBAN berat sedang menindih mental 8 hakim Mahkamah Konstitusi. Mereka dituntut keluar dari Pakem yang selama ini dipahami, yaitu cuma menghitung selisih suara. Pakem itu telah melahirkan stigma MK sebagai Mahkamah Kalkulator.
Sekarang Suhartoyo dan kawan-kawan diminta juga membongkar praktek penyimpangan dan kecurangan yang diduga lebih banyak dilakukan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu).
Atau bukan mustahil tejadi konspirasi antara mereka dengan pasangan calon (02).
MK diminta menelisik kelakuan tak pantas kedua perangkat pelaksana pemilu itu.
Dan itu ditumpahkan dalam petitum gugatan paslon 01 (Amin) dan paslon 03 (Ganpud).
Ada beda emang tapi dikit doang. 01 menggugat diskualifikasi paslon 02 (Pragib) atau skundernya Gibran saja. Prabowo tidak.
Tapi 03 tetap bertahan didisk dua duanya. Dua duanya punya argumen. Pasangan 01 beralaskan pelanggaran prosedur (pendaftaran) atau yang tidak memenuhi syarat hanya Gibran. Pasca putusan MK no.90/PUU.XXI/2023 KPU menerima dan mengesahkan Gibran sebagai Cawapres, padahal KPU belum merubah PKPU No. 19/2023 dimana syarat usia masih 40 tahun. PKPU 19 baru dirubah dengan PKPU 23/2023 sesuai dengan putusan MK No.90 tanggal 3 Nopember 2023.
.Sementara 03 tetap bergeming dua duanya didisk karena sesuai UU (7/2017) pendaftar pilpres itu pasangan (capres dan Cawapres).
Dari berbagai analisa, banyak pendapat, yang paling ringan risikonya adalah menganulir Gibran saja.
Risikonya para hakim MK hanya berhadapan dengan rezim Jokowi saja. Itupun bukan main-main. Ini soal hidup mati dan harga diri bagi Jokowi.