KoranMandala.com –Sabtu sore di kawasan Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung, suasana mini market terlihat biasa saja. Orang-orang keluar masuk membawa belanjaan, lalu lalang kendaraan meramaikan jalanan.
Namun, di pelataran sebuah mini market, seorang pemuda yang kita sebut saja Jalu (bukan nama sebenarnya), tengah tenggelam dalam layar gawainya.
Dengan jari yang lincah, ia membuka salah satu aplikasi kencan daring. Bukan untuk mencari teman ngobrol, melainkan gadis-gadis muda yang terang-terangan menjajakan diri.
Foto-foto wajah cantik dan tubuh menggoda berjejer layaknya etalase toko, lengkap dengan kode tarif tersembunyi.
Lipsus: Apartemen Bandung Jadi Sarang Prostitusi Online, Bisnis Gelap yang Kian Terang-Terangan
Setelah beberapa menit menimbang, Jalu akhirnya menemukan “pilihan” hatinya. Percakapan singkat pun terjadi dimulai dari sapaan basa-basi, berlanjut ke pertanyaan soal tarif, hingga lokasi pertemuan. Transaksi berakhir dengan kesepakatan: sebuah apartemen di kawasan Ahmad Yani, Cicadas, menjadi titik temu.
Tak butuh waktu lama, Jalu sudah duduk di lobby apartemen yang dijanjikan. Dari arah pintu masuk, dua gadis muda berpakaian minim melangkah mendekatinya.
Tanpa banyak basa-basi, mereka mengajak Jalu menuju lantai atas, menuju kamar yang sudah disiapkan.
Di dalam kamar, suasana berubah. Jalu dipersilakan menanggalkan semua pakaiannya. Sambil memberi pijatan ringan, salah satu gadis yang kita sebut Mawar (bukan nama sebenarnya), menawarkan “menu layanan.” Paket itu tersaji lugas: HJ Rp250 ribu, BJ Rp350 ribu, dan ML Rp700 ribu—semuanya masih bisa ditawar.
Seolah transaksi ini adalah hal lumrah, percakapan mereka berlangsung santai. Namun, di balik layar aplikasi kencan itu, tersimpan ironi: prostitusi online di Bandung kini semakin mudah diakses, seakan tak lagi mengenal sekat ruang publik maupun pengawasan hukum.






