KoranMandala.com – Di suatu pagi pada akhir Juli 2025, sang fajar yang penuh kehangatan mendampingi Gedung Pusat Pembelajaran Arntz-Geise (PPAG) Universitas Katolik Parahyangan yang berdiri anggun, menyambut langkah-langkah penuh harap dari ratusan orang. Mereka datang dari berbagai penjuru, membawa cerita hidup yang berbeda-beda, namun dipersatukan oleh satu hal: keinginan untuk menemukan kembali makna keberadaan..
Selama empat hari, 30 Juli hingga 2 Agustus, ruang luas PPAG menjadi tempat berseminya senyum, pelukan, tawa, bahkan air mata haru. Lebih dari 200 peserta hadir, termasuk 15 dari luar negeri. Dari generasi termuda berusia 17 tahun hingga peserta tertua berusia 83 tahun, semua duduk sejajar, tanpa jarak, dalam semangat yang sama.
“Rasanya seperti menemukan rumah untuk jiwa saya,” ujar seorang peserta dari Ciamis. Matanya berkaca-kaca saat mengucapkannya, seakan empat hari itu telah membuka pintu yang selama ini terkunci.
Pertemuan yang Melampaui Batas Usia dan Geografis
Konferensi ini menghadirkan Dr. Michaela Glöckler, seorang Anthroposophical Paediatrician ternama, yang memberikan keynote speech setiap pagi dan sore. Namun, bagi banyak peserta, yang paling membekas bukan hanya kata-kata dari panggung, tetapi interaksi antar manusia di sela-sela sesi.
Seorang peserta dari California, Amerika Serikat, hanya butuh tiga kata untuk merangkum pengalamannya: “Connecting with people.” Sederhana, namun penuh makna. Di balik kalimat itu, ada senyum yang tak pernah lepas, ada pelukan hangat dari orang-orang yang sebelumnya adalah orang asing, dan ada rasa saling mengerti yang melampaui bahasa.

Dari Bekasi, seorang peserta mengaku menemukan potongan-potongan hidupnya yang hilang. “Segala aspek memberikan saya pemahaman, seperti puzzle yang saling terhubung,” ujarnya. Baginya, konferensi ini bukan hanya forum belajar, melainkan ruang penyembuhan dan penemuan diri.
Cerita Penyembuhan dan Keindahan dalam Detail
Bagi seorang peserta dari Jakarta, konferensi ini seperti oasis di tengah gurun kehidupan yang melelahkan. “Pemenuhan jiwa saya yang hilang, penyembuhan masa kanak-kanak yang tidak pernah saya rasakan atau sadari. Penyerapan energi baik selama empat hari membuat saya kuat, tenang, dan damai,” tuturnya.
Testimoni ini menggambarkan betapa dalamnya pengaruh konferensi ini pada setiap orang yang hadir. Bukan hanya otak yang bekerja, tetapi hati dan jiwa pun ikut disentuh.
Nilai-nilai Anthroposophy tidak hanya hadir di ruang materi, tetapi juga di setiap keputusan kecil panitia. Seorang peserta dari Bogor menyoroti hal ini dengan kagum: “Materinya, juga nilai yang dijunjung dan diterapkan selama proses. Tidak ada gelas sekali pakai, name tag bisa diolah ulang, pemakaian banner yang minim.”
Hal-hal sederhana seperti ini mungkin luput dari perhatian, namun bagi mereka yang hadir, inilah bukti bahwa keindahan dapat hadir lewat pilihan yang sadar dan peduli.
Mimpi yang Menjadi Nyata: Konferensi Internasional Anthroposophy Pertama di Indonesia Sukses Digelar
Dari Bandung untuk Dunia
Bagi peserta dari Balikpapan, Kalimantan Timur, semua momen memiliki nilai. “Semuanya sangat berharga, setiap detiknya punya makna tersendiri untuk saya pribadi,” katanya.
Kesan ini sejalan dengan semangat kolaborasi yang menjadi tulang punggung acara. Universitas Katolik Parahyangan menyediakan tempat dan dukungan penuh. Komunitas roemahplanet, Enzim Bakti Indonesia, Asosiasi Biodinamik Indonesia, dan Asosiasi Waldorf Steiner Indonesia saling bergandengan tangan menghadirkan acara ini.
Kolaborasi ini juga melibatkan media seperti Koran Mandala, yang berkomitmen menyebarkan berita dengan bertanggung jawab. Semua pihak bergerak dalam irama yang sama, membawa visi keberlanjutan, kesadaran diri, dan kemanusiaan yang lebih dalam.
Suara dari Hati untuk Masa Depan
Konferensi ini, meski hanya berlangsung empat hari, meninggalkan gema panjang di hati peserta workshop. Mereka tersenyum bahagia saat mengikuti sesi bersama tutor, menggambarkan suasana positif dan penuh semangat belajar. Mereka pulang bukan dengan goodie bag, tetapi dengan hati yang lebih ringan, pikiran yang lebih jernih, dan langkah yang lebih mantap.

Testimoni peserta adalah bukti bahwa di tengah dunia yang semakin bising dan cepat, masih ada ruang untuk berhenti sejenak, mendengar, dan menghubungkan diri — baik dengan sesama maupun dengan jiwa sendiri.
Rudolf Steiner, perintis Anthroposophy, pernah berkata:
“Kehidupan sosial yang sehat hanya dapat ditemukan ketika, di dalam cermin setiap jiwa, seluruh komunitas tercermin; dan ketika, di dalam seluruh komunitas, kebajikan setiap individu hidup.”
Di Bandung, kata-kata ini hidup. Peserta pulang dengan hati penuh syukur, membawa pulang bukan sekadar pengetahuan, tetapi juga perasaan damai, terhubung, dan diperbarui. (FMA)






