Dalam konteks lebih besar, Budi menyatakan saat ini Indonesia tengah mengalami surplus usia produktif terhadap yang nonproduktif. “Tapi kenyataannya kan itu tidak terkapitalisasi dengan baik karena saking banyaknya orang yang tidak bekerja atau bekerja di sektor informal. Angkanya bahkan menurut statistik di BPS kan kira-kira 59 persen, lebih dari 50 persen,” tambah Budi.

Karena itu, sambung Budi, harus ada strategi dari sisi kependudukan yang bisa membuat satu peta jalan agar Indonesia tidak terjebak di dalam kondisi ini. Sebaliknya, mampu melepaskan dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap).

“Nah, itulah mengapa pemerintah berusaha membuat apa yang namanya peta jalan, grand design pembangunan kependudukan, lalu rencana aksi pembangunan kependudukan beserta nanti turunan-turunannya. Kita membuat termasuk nanti untuk mengevaluasi kinerja pemda dalam konteks ini adalah indikator pembangunan berwawasan kependudukan,” ujar Budi.

Menuju Negara Maju

Budi mengungkapkan, GDPK baru yang kini sedang digodok akan berupaya menjawab sekaligus menjadi panduan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara baru. Upaya ini bertumpu pada dua hal: menetapkan parameter negara maju dan bagaimana mewujudkan negara maju itu sendiri.

Nah, untuk bisa memastikan tercapainya predikat negara maju, Budi menyatakan ada dua prasyarat yang harus terpenuhi. Pertama, sehat jasmani dan rohani. Kedua, harus punya satu level kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

“Mereka tidak boleh stunting. Karena itu, program kita salah satunya adalah pemberantasan stunting melalui Genting atau Gerakan Orang Tua Asuh Peduli Stunting. Itu salah satu relevansi kehadiran Kemendukbangga dengan visi mewujudkan negara maju. Jadi, Genting ini dimasukkan agar memastikan tidak ada bayi yang lahir stunting. Sebab kalau ada bayi lahir stunting, hidupnya itu selamanya stunting. Dia pasti akan tersisih di market. Pabrik-pabrik misalnya atau perusahaan besar kemungkinan tidak mau menerima orang yang kondisi stunting. Strategi Genting ini untuk mencegah jangan ada lagi bayi lahir stunting,” tandas Budi.

Dari sisi kompetensi, harus ada data kependudukan yang canggih untuk memastikan antara supply and demand ini terkoneksi dengan kebutuhan industri. Dia mencontohkan, data kependudukan harus mampu menyajikan kebutuhan industri terhadap lulusan teknik mesin atau teknik kimia misalnya. Link and match antara lembaga pendidikan dengan dunia industri harus ter-cover dalam GDPK.

“Kalau dokter yang dibutuhkan itu 1.000 orang, ya dari sini juga supplier-nya jangan terlalu banyak. Sehingga, setiap lulus baru keluar langsung diterima 100 persen oleh industri dan seterusnya. Dengan demikian, rekrutmen untuk pendidikan dan pelatihan harus berbasis pada demand di sektor industr,” Budi mencontohkan.(*)

1 2
Leave A Reply

Exit mobile version