KORANMANDALA.COM –Di bawah rindang pepohonan, seorang perempuan lanjut usia tampak duduk rapi sambil menata dagangannya. Tangan-tangannya gemetar, namun gerakannya tetap lembut.
Itulah Bu Jumidah, perempuan yang kini berusia 73 tahun. Usianya mungkin menua, langkahnya mulai goyah, dan ingatannya sesekali terselip, tetapi semangat hidupnya tetap tegak lebih tegak daripada gerobak mangga yang setiap hari menemaninya.
Dengan baju biru yang warnanya mulai memudar, Bu Jumidah menatap tumpukan mangga seakan di sanalah seluruh sisa tenaganya bernaung. Bagi banyak orang, mangga hanya buah. Bagi Bu Jumidah, mangga adalah alasan untuk tetap melangkah.
Perempuan Ojol Bernama Kartini: Menyalakan Harapan dari Atas Motor
Kadang ia membawa mangga langsung dari kampung halamannya, Indramayu—tempat lima pohon mangga berdiri kokoh di halaman rumahnya. Pohon-pohon itu bukan sekadar tanaman, melainkan saksi bisu dari perjalanan panjang seorang ibu yang menggantungkan doa-doanya pada setiap ranting.
“Lumayan, daripada diem di rumah,” ujarnya sambil tersenyum tipis. Senyum yang terdengar ringan, tetapi menyimpan letih yang hanya diketahui oleh hati seorang ibu yang terbiasa menyembunyikan lelahnya sendiri.
Hidup Bu Jumidah dulu tak pernah mudah. Ia pernah menjadi pembantu rumah tangga, mengasuh anak orang lain sambil memendam keinginan sederhana: melihat anak majikannya sekolah tinggi sesuatu yang tak pernah bisa ia rasakan.
“Saya mah buta huruf, Neng. Nggak sekolah. Tapi saya ingin anak saya jadi sarjana,” katanya lirih. Kalimat itu terdengar seperti luka lama yang tak lagi menangis, tetapi masih terasa perih jika disentuh.
Dari ketidaktahuan itulah ia menumbuhkan tekad yang luar biasa. Ia berjualan apa saja manisan, singkong, keripik menabung receh demi receh seperti menabung mimpi yang ia sendiri tak yakin sempat melihat hasilnya.
“Yang penting halal,” ucapnya. Sebuah prinsip yang menjadi kompas hidup yang ia pegang lebih erat daripada apa pun.
Kini, bertahun-tahun kemudian, tekad itu tumbuh menjadi kenyataan. Anak-anaknya telah berpendidikan, bekerja, berkeluarga. Saat menyebut prestasi anak-anaknya, mata Bu Jumidah berbinar. Kebanggaannya terlihat jelas, namun ia tetap merendah seakan takut mengakui terlalu banyak kebahagiaan.
Dari kebun mangga di Indramayu hingga lapak kecil di sudut Bandung, perjalanan hidup Bu Jumidah adalah bukti bahwa cinta seorang ibu tidak pernah mengenal usia, tidak mengenal lelah, dan tidak mengenal batas.
Ia tersenyum, tawa kecilnya rapuh, namun wajah teduhnya menyimpan begitu banyak cerita tentang keteguhan yang mungkin tak akan pernah habis diceritakan.
Dan melalui hidupnya, Bu Jumidah mengingatkan kita: pendidikan mampu mengubah masa depan siapa pun, bahkan jika perjuangan itu dimulai dari tangan yang lelah dan hati yang tak pernah berhenti berharap.






