Koran Mandala – Pemerintah Indonesia diminta lebih cermat dalam merumuskan arah kebijakan politik luar negeri di tengah eskalasi geopolitik global. Konflik Rusia-Ukraina, perang Iran-Israel, hingga ketegangan antara Amerika Serikat dan aliansi BRICS menuntut Indonesia bersikap taktis dan memperhitungkan semua risiko.
Seruan ini mencuat dalam forum diskusi terbatas bertema “Dampak Konflik Israel-Iran terhadap Indonesia: Tantangan, Peluang, dan Strategi dalam Menghadapi Dinamika Global”, yang digelar Grup Diskusi Patiunus 75 bersama Teropong Senayan di Parle, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bagaimana Potensi dan Peluang Bagi Indonesia jika Menjadi Anggota BRICS?
Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan strategis, termasuk dalam pilihan Indonesia untuk bergabung dengan poros BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa).
“Kebijakan luar negeri bukan sekadar diplomasi elitis. Harus ada militansi rakyat, ada koneksi dengan aspirasi akar rumput. Jangan semua dikendalikan oleh menteri-menteri warisan kekuasaan lama yang hanya ingin mempertahankan posisi,” ujar Syahganda.
Ia menyebut sebagian besar menteri saat ini adalah sosok lama dari pemerintahan Jokowi yang cenderung ABS (Asal Bapak Senang). Menurutnya, keputusan politik besar seperti BRICS harus dikawal oleh suara rakyat dan diperkuat dengan kesiapan rakyat sebagai kekuatan cadangan negara.
Syahganda juga menyoroti dominasi kekuatan intelijen Amerika Serikat di Indonesia selama lebih dari tiga dekade, dan menyebut bahwa dampaknya tidak bisa disepelekan. “Kalau mereka marah, cukup lewat proxy CIA saja, Papua bisa goyah,” ujarnya dalam diskusi yang juga dihadiri tokoh-tokoh nasional seperti Prof. Marsetio, Dr. Dina Sulaeman, Pahala Manshuri, Teguh Santosa, Said Didu, hingga Bambang Soesatyo.
Diskusi menyoroti bahwa ketegangan global tidak boleh hanya direspons secara simbolik. Syahganda mengingatkan, kekuatan Indonesia tidak sebanding dengan anggaran militer AS dan NATO yang mencapai triliunan dolar.
“BRICS bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal konsekuensi geopolitik. Indonesia harus punya perhitungan matang dan komando rakyat yang siap mendukung,” katanya.
Syahganda berharap hasil diskusi ini melahirkan komunike politik yang menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto membuka ruang partisipasi publik dalam kebijakan luar negeri. Ia juga menekankan pentingnya Prabowo tidak menjadi presiden elitis yang jauh dari denyut masyarakat.
“People power adalah kunci kekuatan. Tanpa itu, kita lemah menghadapi tekanan global,” pungkasnya.
