Koran Mandala – Tanggal 26 Juni 1945 menjadi tonggak sejarah harapan umat manusia ketika Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ditandatangani oleh 50 negara di San Francisco. Dunia saat itu baru saja keluar dari kengerian Perang Dunia II, dan pembentukan PBB diharapkan menjadi benteng terakhir dalam mencegah perang besar berikutnya, sekaligus forum kolaborasi global demi perdamaian, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia.
Namun, delapan dekade berselang, dunia kembali dihadapkan pada ancaman yang bahkan lebih destruktif: perang nuklir. Ironisnya, ancaman ini justru muncul akibat kegagalan sebagian negara besar, khususnya Amerika Serikat, dalam menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam perjanjian non proliferasi nuklir.
Ketimpangan Global dan Kemunafikan Proliferasi
Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) yang mulai berlaku sejak 1970 dimaksudkan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir, memfasilitasi perlucutan senjata, dan menjamin penggunaan energi nuklir secara damai. Namun dalam implementasinya, perjanjian ini menunjukkan wajah diskriminatif yang mencederai semangat Piagam PBB.
Amerika Serikat dan sekutunya bersikeras agar negara-negara seperti Iran dan Korea Utara patuh pada aturan ketat NPT, tetapi menutup mata terhadap kepemilikan senjata nuklir oleh Israel, yang bahkan bukan negara anggota NPT. Fakta bahwa Israel dibiarkan memiliki persenjataan nuklir tanpa inspeksi internasional atau sanksi tegas, memperkuat persepsi bahwa tata dunia saat ini dijalankan atas dasar kekuatan, bukan keadilan.
Masihkah PBB on The Track?
Ketimpangan perlakuan ini telah menggoyahkan legitimasi sistem internasional yang dijalankan di bawah naungan PBB. Salah satu tujuan utama Piagam PBB adalah “menyelamatkan generasi mendatang dari bencana perang.” Namun, bagaimana harapan itu bisa dijaga bila Dewan Keamanan PBB, yang memiliki otoritas tertinggi dalam urusan perdamaian dan keamanan internasional, dikuasai oleh lima negara pemilik hak veto yang semuanya adalah kekuatan nuklir?
Ketidakseimbangan ini tidak hanya melemahkan efektivitas PBB, tetapi juga memperbesar rasa ketidakadilan di negara-negara Global South yang merasa suaranya tidak didengar, apalagi dihargai. Padahal, mereka jugalah yang paling rentan terdampak dari konflik geopolitik dan krisis kemanusiaan global.
Mendesak Reformasi Dewan Keamanan PBB
Sudah saatnya dunia mendesak reformasi menyeluruh terhadap struktur Dewan Keamanan PBB. Komposisi yang sekarang tidak mencerminkan realitas geopolitik global abad ke-21. Negara-negara berkembang dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin harus mendapat tempat dan suara yang setara dalam menentukan arah perdamaian dunia.
Lebih dari itu, hak veto yang hanya dimiliki lima negara (AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis) harus ditinjau ulang. Hak istimewa tersebut sering kali menjadi penghalang utama dalam penyelesaian konflik, karena keputusan Dewan Keamanan bisa diblokir oleh satu negara saja, meskipun mayoritas anggota mendukung.
Harapan Baru di Hari Bersejarah
Peringatan hari ditandatanganinya Piagam PBB mestinya bukan hanya seremoni, tapi momentum refleksi mendalam. Dunia perlu kembali kepada semangat awal pembentukan PBB: menciptakan tatanan global yang adil, setara, dan berorientasi pada perdamaian berkelanjutan.
Ancaman perang nuklir bukan sekadar isu senjata, tapi soal moralitas dan keberanian politik. Apakah umat manusia akan terus membiarkan ketimpangan ini berlanjut? Atau kita memilih untuk menata ulang arsitektur perdamaian dunia agar benar-benar mencerminkan suara bersama?
Beranikah Indonesia menunjukan peran dalam upaya perdamaian dunia, melawan kemunafikan geopolitik, dan menegaskan kembali bahwa perdamaian dunia adalah hak semua bangsa, bukan hak istimewa segelintir negara berkekuatan veto dan senjata nuklir.
