Koran Mandala – Maraknya aksi premanisme di sejumlah kawasan industri di Jawa Barat menjadi sorotan serius Anggota DPD RI, Aanya Rina Casmayanti. Dalam kunjungannya ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Jawa Barat, Aanya menegaskan pentingnya penegakan hukum terhadap organisasi masyarakat (ormas) yang menyimpang dari fungsi dasarnya.
Sebagai anggota Komite I DPD RI yang membidangi politik, hukum, pemerintahan daerah, dan keamanan, Aanya menilai aksi-aksi ormas yang meresahkan masyarakat dan mengganggu investasi harus ditangani secara sistematis dan berani.
Polda Jabar Sikat Premanisme, 36 Target Ditangkap dalam Operasi Lodaya
“Banyak pengusaha besar, bahkan investor asing seperti pabrik mobil BYD yang akan dibangun di Subang, mengeluhkan gangguan dari oknum ormas. Jika mereka saja kewalahan, apalagi pelaku UMKM,” ujarnya.
Berdasarkan data Kesbangpol Jawa Barat, saat ini terdapat 1.688 ormas yang terdaftar, namun hanya 875 di antaranya yang masih aktif. Mayoritas merupakan ormas sosial, disusul ormas profesi, keagamaan, dan budaya. Kepala Kesbangpol Jawa Barat, Wahyu Mijaya, menyebut pihaknya terus melakukan monitoring dan evaluasi melalui Tim Terpadu Pengawasan Ormas, termasuk melalui kegiatan verifikasi, pembinaan, hingga pencabutan izin.
Namun persoalan premanisme yang merajalela di kawasan industri menjadi tantangan berat. Modusnya beragam: mulai dari pungutan liar saat pembebasan lahan, pematangan tanah, hingga pengurusan limbah dan jatah rekrutmen tenaga kerja yang dikomersialkan atas nama penduduk lokal.
“Premanisme ini bukan hanya menghambat investasi, tapi juga merusak pola pikir generasi muda. Mereka melihat jalan pintas sebagai cara hidup—ingin uang tanpa kerja keras. Lalu siapa yang akan menjadi petani dan wirausahawan masa depan?” kata Aanya dengan nada prihatin.
Jawa Barat memiliki populasi lebih dari 50 juta jiwa—setara Korea Selatan, namun dengan tantangan kerawanan yang besar akibat kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan yang terbatas.
Untuk menghadapi persoalan ini, Kesbangpol telah membentuk Satgas Anti-Premanisme yang bekerja sama dengan TNI, Polri, dan unsur Forkopimda. Satgas terbagi menjadi unit pencegahan, unit intelijen, dan kanal pengaduan masyarakat seperti aplikasi Sapawarga. Namun, Aanya menyoroti perlunya sinkronisasi lebih tegas antara kewenangan daerah dan pusat, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, dalam hal pencabutan izin ormas.
Ia mencontohkan kasus Sengketa lahan SMAN 1 Bandung yang dimennaglan Lyceum sebuah ormas yang legalitasnya sudah dicabut oleh Kemenkumham, tetapi masih memiliki standing hukum untuk melakukan kegiatan dan bahkan menggugat secara hukum.
“Ini jadi pertanyaan besar. Negara jangan sampai kalah dengan mafia. Kita perlu konsolidasi kebijakan agar ada perbaikan ke depan,” ujarnya.
Sebagai wakil rakyat di DPD RI, Aanya berkomitmen mengawal implementasi UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan serta regulasi turunannya. Baginya, iklim investasi yang sehat hanya dapat tercipta bila ada kepastian hukum dan ketegasan negara dalam menjaga ruang publik dari praktik-praktik premanisme.
“Kita ingin Jawa Barat tetap menjadi tujuan investasi unggulan nasional. Tapi itu hanya bisa tercapai jika kondusivitas dan keamanan benar-benar dijaga bersama,” pungkasnya.