Koran Mandala -Tiga dekade telah berlalu sejak Marsinah, buruh perempuan PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo, Jawa Timur, ditemukan tak bernyawa pada 8 Mei 1993. Namun ingatan kolektif tentang keberaniannya tetap menyala dalam sejarah gerakan buruh Indonesia. Ia bukan hanya simbol perlawanan terhadap eksploitasi, melainkan saksi bisu dari brutalnya represi negara terhadap suara rakyat pekerja.
Marsinah adalah potret buruh yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Saat perusahaan memaksakan perjanjian kerja tanpa melibatkan buruh, Marsinah ikut memimpin pemogokan menuntut hak atas upah dan waktu kerja yang manusiawi. Tuntutannya sederhana: keadilan dan martabat bagi kelas pekerja. Namun, keberaniannya berujung pada penculikan, penyiksaan, dan kematian mengenaskan yang hingga kini tak menemukan keadilan sejati.
Jejak Panjang Hari Buruh Internasional: Dari Chicago ke Seluruh Dunia
Tragedi Marsinah mencerminkan betapa lemahnya perlindungan negara terhadap buruh, sekaligus menunjukkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk membungkam kritik. Investigasi kasusnya diselimuti kabut gelap: rekayasa saksi, tekanan terhadap keluarga, hingga pelaku yang tak kunjung diadili. Dalam konteks Orde Baru, peristiwa ini menjadi cermin kekuasaan otoriter yang alergi terhadap serikat buruh independen dan gerakan sosial.
Kini, saat demokrasi telah membuka ruang bagi buruh untuk bersuara, pengorbanan Marsinah harus menjadi pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Masih banyak buruh yang hidup dalam ketidakpastian, menghadapi sistem kerja kontrak tanpa perlindungan, serta minimnya kebebasan berserikat di lapangan.
Mengenang Marsinah bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah momentum untuk menguatkan solidaritas kelas pekerja, mendorong penegakan hukum yang adil, dan memperjuangkan regulasi ketenagakerjaan yang berpihak pada kemanusiaan. Di tengah gempuran liberalisasi dan industrialisasi tanpa batas, suara buruh tetap harus lantang.
Marsinah memang dibungkam, namun ide dan perjuangannya tak pernah padam. Ia adalah api kecil yang terus menyala di setiap hati buruh yang memperjuangkan hak, keadilan, dan kemanusiaan.