KORANMANDALA.COM – Gunung Salak, yang selama ini dikenal sebagai kawasan konservasi dan paru-paru hijau Jawa Barat, kini menyimpan luka yang dalam. Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) mengidentifikasi sebanyak 411 lubang tambang emas ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Temuan ini menjadi alarm keras atas kerusakan lingkungan yang semakin masif dan tak terkendali.
Menurut Direktur Penindakan Pidana Kehutanan Ditjen Gakkum KLHK, Rudianto Saragih Napitu, penertiban akan terus dilakukan meskipun memasuki musim hujan. “Kita harus menertibkan areal-areal yang berpeluang terjadi kerusakan, sehingga mengakibatkan banjir dan longsor,” ujarnya dalam pernyataannya seperti dikutip Antara (1/11/2025).
Pemkab Karawang Tegaskan Komitmen Dukung Penataan Tambang di Jawa Barat
Sejarah Penambangan Emas di Gunung Salak
Penambangan emas di Gunung Salak bukanlah fenomena baru. Sejak era kolonial Belanda, kawasan ini telah dikenal memiliki kandungan emas yang tinggi, terutama di wilayah barat daya yang kini masuk dalam kawasan TNGHS, Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Namun, aktivitas penambangan saat itu dilakukan secara terbatas dan terkontrol.
Memasuki era reformasi, maraknya penambangan tanpa izin (PETI) mulai menjamur. Faktor ekonomi, minimnya pengawasan, dan tingginya harga emas menjadi pemicu utama.
Masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup dari hasil tambang mulai menggali lubang-lubang kecil yang kemudian berkembang menjadi jaringan tambang liar yang luas dan sulit dikendalikan.
Keberadaan Tambang Emas Ilegal Ancam Ekosistem Lingkungan
Keberadaan 411 lubang tambang emas ilegal bukan hanya mencederai lanskap Gunung Salak, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup flora dan fauna endemik di kawasan tersebut.
Aktivitas penambangan yang menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida telah mencemari aliran sungai yang menjadi sumber air bersih bagi masyarakat sekitar.
Selain itu, longsor dan banjir bandang menjadi ancaman nyata. Struktur tanah yang rusak akibat penggalian liar membuat kawasan ini rentan terhadap bencana alam, terutama saat musim hujan tiba.
Tak hanya lingkungan, masyarakat pun terancam kehilangan mata pencaharian dari sektor pertanian dan pariwisata yang selama ini menjadi andalan.
Upaya Penertiban dan Membangun Kesadaran Kolektif Masyarakat
Pemerintah melalui Gakkum KLHK bersama TNI dan Polri telah melakukan operasi penertiban di beberapa titik tambang ilegal. Namun, tantangan besar masih menghadang, terutama dalam hal penegakan hukum dan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.
Pakar lingkungan dari IPB University, Prof. Bambang Hero Saharjo, menyatakan bahwa tambang ilegal mengabaikan prinsip Good Mining, kerusakan ekosistem di kawasan konservasi seperti Gunung Halimun Salak bisa berdampak jangka panjang terhadap keseimbangan lingkungan dan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Kisah Gunung Salak adalah cermin dari konflik antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Di balik lubang-lubang tambang itu, ada wajah-wajah warga yang berjuang untuk hidup.
Namun, jika dibiarkan, kerusakan yang terjadi akan jauh lebih mahal dari emas yang digali.***






