Koran Mandala – Tahun Baru Islam, yang ditandai dengan masuknya 1 Muharram, bukan sekadar pergantian waktu dalam kalender Hijriyah. Ia adalah momen spiritual, historis, dan sangat politis yang sarat makna perjuangan. Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah bukan sekadar pindah kota, melainkan langkah strategis menyelamatkan iman dan membangun peradaban.
Makna hijrah menjadi relevan saat dunia, termasuk umat Islam, menghadapi apa yang dalam istilah geopolitik disebut sebagai “clear and present danger”—bahaya yang nyata dan langsung mengancam. Bisa berupa penindasan politik, krisis lingkungan, radikalisasi, kemiskinan struktural, atau ketimpangan sosial yang dibiarkan tanpa respon berarti.
Hijrah Digital: Dakwah, AI, dan Refleksi Moderasi di Era Media Sosial
Dalam konteks itu, hijrah adalah tindakan, bukan pelarian. Ia adalah keputusan untuk tidak tinggal diam di tengah ancaman, ketidakadilan, dan keterpurukan moral.
Diam di Tempat adalah Kekalahan
Seperti kaum Quraisy yang menindas, menolak kebenaran, dan menghalangi dakwah di Makkah, banyak kekuatan dalam kehidupan modern yang membungkam suara-suara pembaruan, memarginalkan kebenaran, dan melanggengkan kepalsuan.
Tahun Baru Islam seharusnya mengingatkan kita: diam di tempat saat berada di tengah ancaman bukanlah kesabaran, tapi penundaan kehancuran. Rasulullah tidak menunggu wahyu turun untuk membiarkan dirinya dan para pengikutnya dihancurkan di Makkah. Beliau melangkah, dengan strategi, perencanaan, dan keberanian.
Hijrah sebagai Revolusi Peradaban
Peristiwa hijrah menghasilkan konstitusi Madinah—model negara berbasis kesetaraan dan perjanjian antar kelompok. Dari situlah cikal bakal masyarakat beradab dibangun. Hijrah melahirkan Islam sebagai kekuatan sosial dan politik, bukan sekadar kepercayaan pribadi.
Umat Islam hari ini harus menjadikan hijrah sebagai semangat untuk keluar dari kejumudan. Berhijrah dari ketidakpedulian menuju kesadaran sosial, dari retorika menuju aksi, dari simbolisme menuju kerja nyata.
Apa makna hijrah jika kita tetap tinggal di zona nyaman saat bumi rusak, keadilan lumpuh, kemiskinan dibiarkan tumbuh, dan pemuda kehilangan arah?
Apa artinya memperingati Tahun Baru Islam jika kita hanya memposting kalimat doa, tapi diam saat hak-hak masyarakat diinjak, saat suara-suara kebenaran dibungkam, atau saat kekuasaan dipertahankan lewat kebohongan?
Hijrah hari ini adalah berani keluar dari sistem yang gagal menjawab krisis.
Hijrah adalah mendobrak narasi palsu dan membangun tatanan baru—yang adil, yang inklusif, yang mencerminkan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Saatnya Melangkah
Tahun Baru Islam bukan perayaan pasif. Ia adalah momentum penyadaran.
Jika bahaya sudah nyata dan nyata pula arah keburukannya, maka tidak berhijrah adalah bentuk kepasrahan yang memalukan.
Mari kita jadikan 1 Muharram bukan sekadar angka, tapi awal langkah. Karena seperti Rasulullah, kita tidak akan membiarkan bahaya menjatuhkan kita di tempat yang sama. Kita akan bangkit, berpindah, dan membangun peradaban—di tempat yang lebih layak untuk perjuangan.