Koran Mandala –Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila—sebuah momen historis yang menandai lahirnya dasar negara yang mempersatukan beragam suku, agama, dan budaya. Pancasila bukan hanya fondasi ideologis, tapi juga kompas moral dan etika kehidupan berbangsa. Namun di tengah gempuran arus informasi yang massif dan disrupsi komunikasi politik berbasis media sosial, bagaimana relevansi Pancasila dipertahankan?
Hari Lahir Pancasila merujuk pada pidato Ir. Soekarno di sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Dalam pidato tersebut, Bung Karno menggagas lima sila sebagai dasar negara yang kemudian dirumuskan ulang dalam Piagam Jakarta dan UUD 1945.
Aa Abdul Rojak Pimpin Pansus 2 DPRD Kota Bandung, Bahas Raperda Pembudayaan Ideologi Pancasila
Sejak 2016, melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016, 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila dan menjadi hari libur nasional. Momentum ini tidak hanya mengingatkan kita pada sejarah, tetapi juga menjadi sarana refleksi terhadap tantangan aktual yang dihadapi ideologi bangsa.
Di era digital, masyarakat dihadapkan pada banjir informasi yang tak terbendung. Media sosial menjadi arena utama pertarungan opini, propaganda, dan polarisasi politik. Disinformasi dan hoaks kian mudah tersebar, memperlemah kohesi sosial dan memperuncing perbedaan.
Di sinilah Pancasila kembali menemukan relevansinya. Sila Ketiga—Persatuan Indonesia—mendorong kita untuk melampaui perbedaan dan memperkuat solidaritas kebangsaan. Sila Kedua dan Kelima—Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi seharusnya tidak menciptakan jurang ketimpangan baru, baik dalam akses informasi maupun kesempatan ekonomi.
Nilai-nilai Pancasila diuji ketika ruang publik digital digunakan sebagai sarana untuk menyebar ujaran kebencian, intoleransi, dan manipulasi opini publik. Komunikasi politik berbasis media sosial seringkali menjauh dari prinsip musyawarah mufakat dan kearifan lokal sebagaimana tercermin dalam Sila Keempat.
Implikasinya sangat luas: demokrasi terancam dangkal, partisipasi publik cenderung emosional, dan perdebatan publik kehilangan nilai deliberatif. Jika dibiarkan, kondisi ini berisiko merusak fondasi kebangsaan yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Memaknai Hari Pancasila di era digital bukan hanya soal mengingat sejarah, tetapi juga bagaimana nilai-nilainya dijalankan secara kontekstual. Literasi digital harus ditumbuhkan, bukan hanya sebagai keterampilan teknis, tetapi juga sebagai sikap kritis dan etis dalam bermedia.
Pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia pendidikan perlu bersinergi dalam membangun ekosistem informasi yang sehat, memperkuat jurnalisme yang independen, dan menciptakan ruang diskusi yang terbuka namun beradab.
Pancasila bukan dokumen usang yang terpatri di dinding-dinding sekolah. Ia adalah jiwa hidup bangsa yang harus terus diaktualisasikan, termasuk di ruang digital yang kini menjadi panggung utama kehidupan publik. Hari Pancasila adalah momentum untuk menegaskan bahwa nilai-nilai dasar bangsa ini tetap relevan, bahkan semakin penting di tengah tantangan zaman.






