OLEH WIDI GARIBALDI
Ngitung mundur….5…4…3…2…1, ya tinggal beberapa hari lagi. Pada tanggal 20 April ini, Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusannya.
Satu dua hari ini, pendapat ke-8 Hakim Mahkamah Konstitusi itu tentu sudah selesai, disimpulkan dalam suatu putusan. Tetapi sebelum dibacakan, simpulan pendapat para Hakim itu belum syah untuk dapat dikatakan sebagai suatu putusan yang berakibat dan berkekuatan hukum.
Seandainya ada Hakim yang tetap pada pendiriannya, maka pendapatnya itu tidak akan menjadi bagian dari pendapar rekan2nya, Pendapatnya dianggap berdiri sendiri tetapi wajib dibacakan pada waktu pembacaan putusan. Itulah yang dinamakan dissenting opinion. Kalau sekedar alasan yang melatarbelakangi putusan itu yang berbeda, maka pendapat yang demikain itu dikenal sebagai concurring opinion.
Pembacaan pendapat para Hakim inilah yang sekarang sedang ditunggu dengan penuh harap serta cemas oleh masyarakat.Mereka yang penuh harap, tentu saja karena menginginkan putusan majelis Hakim, antara lain mengabulkan permohonannya yakni mendiskualifikasi anak sulung Presiden Jokowi sebagai Wakil Presiden Paslon nomor 02. Sikap penuh harap itu akan berubah menjadi cemas, jangan-jangan para Hakim akan menolak permohonan mereka, kendati Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 mengandung cacat hukum yang amat serius, bahkan mengandung unsur penyelundupan hukum.
Amicus curie
Tugas yang diembankan ke atas pundak ke-8 Hakim Mahkamah Konstitusi ini sungguh amat berat. Di atas pundak mereka nasib bangsa dan negara sedang dipertaruhkan.
Dari ke-8 Hakim Mahkamah Konstitusi itu, diperkirakan hanya ada 3 orang yang mempunyai nyali, berani berpendapat kendati bertentangan dengan kehendak Punguasa. Mereka itu terdiri dari Suhartoyo, Ketua MK. Saldi Isra, Wakil Ketua dan M.Arief sebagai anggota.
Sisanya, 5 Hakim lainnya, diperkirakan tak punya nyali yang kuat untuk mengeluarkan pendapat yang berlawanan dengan kehendak Pemerintah. Paling banter, pendapat mereka abu-abu serta bersayap.
Tergantung dari sudut pandang mana orang melihatnya. Untuk itulah, tidak kurang dari 303 akademisi telah menyampaikan pendapatnya, amicus curie, dengan maksud untuk membantu pengadilan agar mampu menjatuhkan putusan yang benar-benar sesuai dengan tujuan hukum, yakni menemukan keadilan, bukan hanya sekedar mencarinya, walau merupakan pekerjaan yang teramat sulit. Tetapi tak ada yang tak mungkin.
Seandainya putusan No.90/PUU-XXI/2023 itu benar-benar dianulir, maka kursi Wakil Presiden akan kosong. Apabila hal tersebut benar-benar terjadi maka Konstitusi kita, UUD NRI Tahun 1945 sebenarnya telah menyediakan pintu darurat untuk dapat digunakan keluar dari kemelut ini. Pasal 8 ayat (2) Konstitusi menyebutkan bahwa : “Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelias Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diusulkan oleh Presiden”. Nah, kalau Prabowo sebagai Presiden terpilih jadi dilantik pada tanggal 10 Oktober nanti, maka ia dapat menyodorkan 2 nama untuk menjadi wakilnya. MPR akan memilihkan satu untuknya sebagai pengganti anak sulung Presiden Jokowi itu.
Ada yang bermimpi dengan melontarkan pertanyaan, bagaimana kalau yang diusulkan itu berasal dari Paslon 01 dan 03 ? Wah, mudah-mudahan bukan mimpi di siang hari bolong ?***