Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
ADA banyak orang berkumpul di dekat Suharto. Maklum dia sudah jadi penguasa republik ini, sebagai presiden ke 2 dan berkuasa paling lama (32 tahun). Enak menjadi bagian dari kekuasaan itu.
Bentik curuk balas nunjuk, capetang balas miwarang, kata orang sunda mah. Maksudnya telunjuknya digunakan untuk menunjuk nunjuk dan mulutnya untuk memberi perintah.
Diantara orang-orang itu ada seorang bernama Ali Murtopo.Tentu generasi mileneal atau gen Z tidak sempat mengenal nama itu. Paling paling denger cerita doang.
Dia itu (Ali Murtopo), belakangan menjadi orang paling dekat dari penguasa orde baru itu. Jabatanya Asisten Pribadi Presiden. Dia memang memiliki talenta berlebih dari rata-rata orang. Otaknya encer, akhli dalam strategi, diplomasi dan politik.
Karena itu dia sering “dituding” sebagai otaknya ( thinktank) dari pada Suharto.
Ada juga yang mengibaratkan jika Suharto rajanya, maka Ali patihnya. Mahapatih malah.
Kalau di Majapahit Suharto itu Hayam Wuruk sedang Ali, Gajah Madanya. Tahuh 1337 GM diangkat jadi Mahapati oleh ratu Tunggadewi , ibunda Hayam Wuruk. Keduanya (HW dan GM), berhasil membuat negara itu maju. Bahkan berhasil menguasai Nusantara (Indonesia plus).
Akan halnya mahapati Ali Murtopo, talenta strateginya harus diakui memberi saham atas hegemoni Suharto selama 32 tahun. Sejak tahun 1968 Ali telah menebar wacana pengurangan jumlah partai politik.
Alasanya terbilang masuk logika dan akal sehat. Bagi pemerintah mudah melakukan pembinaan. Juga mengurangi beban anggaran.
Tapi gayung belum bersambut.Dalam pemilu 1971, jumlah peserta masih 10 parpol. Tapi Ali punya strategi jitu untuk memenangkan Sekber Golkar, organisasi kekaryaan yang menjadi kendaraan politik Suharto.