Oleh: Widi Garibaldi
Benar juga kata orang bahwa hukum itu tak mungkin berhasil menyamai perubahan masyarakat yang berlangsung cepat. Ia senantiasa tertinggal jauh di belakang. Terseok-seok berusaha menyusul. Het recht hint achter de feiten aan,kata orang Belanda.
Setelah merdeka lebih dari 80 tahun, kita baru mampu mengganti kitab undang-undang hukum pidana peninggalan Penjajah (Wetboek van Strafrecht) yakni dengan Undang-undang No.1 Tahun 2023. Lahirnya undang-undang ini merupakan tonggak sejarah penting bagi kita karena sejak tanggal 2 Januari 2026 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) nasional dinyatakan berlaku.
Mulai awal tahun 2026 nanti kita sepenuh hati dapat mengucapkan “selamat tinggal” kepada KUHP warisan Belanda (W.v.S} yang telah mengelola kehidupan kita sebagai manusia sejak tahun 1918. Kita tidak lagi akan diatur oleh hukum yang tidak sesuai dengan tata kehidupan kita yang berasaskan kekeluargaan.
Bagaimana dengan KUHAP ?
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) adalah pedoman beracara di Pengadilan. Siapapun yang akan mencari keadilan di Pengadilan tentu harus menggunakan KUHAP untuk mempertahankan kepentingannya di bidang pidana.
Itulah sebabnya mengapa KUHAP itu digolongkan sebagai hukum formil, sehingga merupakan senjata untuk mengawal kebutuhan-kebutuuhan kita yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jadi tanpa KUHAP, ibarat menghadapi lawan di ruang gelap tanpa dibekali senjata.
Karenanya, kehadiran KUHAP mutlak dibutuhkan untuk mendampingi KUHP sebagai hukum matriil.
Karena KUHP telah ditetapkan oleh UU No.1 Tahun 2023 akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026 maka hukum matriil itu mutlak harus dikawal oleh hukum formil. Dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu.
Selama ini. “senjata” yang kita gunakan manakala harus berurusan di Pengadilan adalah HIR (Herzien Inlandsch Reglement). Warisan kolonial inipun harus kita ganti dengan hukum acara yang bersifat nasional agar sesuai untuk mengawal berlakunya KUHP awal tahun depan.
“Angan-angan” ini akhirnya menjadi kenyataan setelah wakil-wakil kita di Senayan menyepakati dengan suara bulat berlakunya KUHAP sebagai pengganti HIR. Diiringi teriakan “setujuuuu”, para Wakil Rakyat” itu meredam aneka kehendak yang tidak mungkin ditampung semuanya dan memproklamirkan berlakunya KUHAP dengan prinsip “tak ada gadimg yang tak retak”.
Walaupun tidak semua kehendak dapat diwadahi,tidak ada salahnya kalau kita menepuk dada karena berhasil menyingkirkan peraturan peninggalan penjajah dan menggantinya dengan peraturan yang bersifat nasional.
Suatu kitab undang-undang yang sejauh mungkin berusaha mengkodifikasikan peraturan-peraturan yang hidup dalam masyarakat.
Kalau undang-undang hukum pidana yang bersifat nasional itu baru mampu kita ujudkan setelah lebih dari 80 tahun merdeka, dapat dibayangkan berapa lama lagi waktu yang kita butuhkan untuk mengganti undang-undang di bidang perdata yang diwariskan pihak Penjajah dan sampai sekarang masih kita gunakan ?
Mengingat 1340 suku bangsa menjadi penghuni negeri ini,upaya membentuk 1 hukum perdata yang bersifat nasional, tentu merupakan maha karya anak bangsa yang luar biasa.***






