Oleh: Widi Garibaldi
Dulu, tatkala media cetak masih berjaya, para juru warta, yang dikenal dengan predikat lebih keren sebagi “news getter” berlomba lomba mengejar dead line. Terlambat sedikit, bahan berita yang mereka bawa akan ditolak oleh Redaktur. Soalnya, proses naik cetak dipatok waktu yang amat ketat. Terlambat sedikit,pasar sudah direbut media lain. Padahal jam di dinding percetakan baru menunjuk angka 03.30 dini hari.
Masa penuh romantika itu telah lama berlalu. Walau begitu, masih tersisa bekas-bekasnya dalam kehidupan suatu media dengan para jurnalisnya yang semakin megap- megap. Iklan, menjadi penghasilan utama media yang bersangkutan. Karenanya, iklan dipoles agar semakin menarik.
Advertorial, gabungan kosa kata advertensi (iklan) dan editorial (berita) adalah iklan yang dikemas dalam bentuk berita sehingga terlihat sebagai tulisan biasa. Pembaca tak mengira bahwa tulisan itu sebenarnya adalah iklan, yang dibayar penuh oleh si pemasang sesuai tarif yang diberlakukan oleh media yang bersangkutan.
Karena itu, Pemasang advertorial leluasa memuat konten sesuai kehendaknya. Tentu saja media tak berhak mengubah isi konten, karena bayaran yang nilainya, aduhai.
Upaya membentuk opini publik
“Smiling General” Soeharto, baru saja ditetapkan Presiden sebagai Pahlawan Nasional, setelah melalui proses yang panjang. Pendapat masyarakat sejak lama terpecah. Memandangnya sebagai Pahlawan, di samping ada yang melihatnya sebagai Pelaku Genosida atau tokoh yang menginjak injak Hak Asasi Manusia.
Di samping mereka yang teringat akan jasanya sebagai Komandan Serangan Umum 11 Maret yang heroik, merebut kembali kota Jogya dari tangan Kolonial Belanda dan sebagai Panglima Komando Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat dari genggaman penjajah, pihak yang kontra pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada sang Jenderal teringat akan tangannya yang berlumuran darah ketika mengakhiri tragedi 1965, ratusan ribu nyawa melayang,masuk penjara dan di buang ke belantara pulau Buru yang terasing.
Pihak yang kontra juga tak mau lupa akan sikap Kepala Negara dan Pemerintahan itu ketika operasi pemberantasan Gali atau Bromocorah berlangsung. Siapa saja yang diduga sebagai residivis, di dor tanpa ampun.Nyawanya melayang tanpa diketahui dosanya. Tak ada proses pengadilan. Semuanya tergantung suka-suka pemegang bedil, yang dikenal kemudian sebagai Penembak Misterius atau Petrus.
Agar supaya ingatan mereka yang kontra pupus dan tak mempengaruhi opini umum, segala macam upaya meredam dilakukan oleh mereka yang menginginkan Jenderal Soeharto, Presiden ke-2 RI itu menjadi Pahlawan Nasional. Di antarnya dengan memasang advertorial di media utama yang mengabarkan bahwa hampir seluruh rakyat kompak mendukung agar Jenderal yang pernah diadili karena terlibat KKN itu ditetapkan oleh Presiden Prabowo sebagai Pahlawan Nasional.
Bukan tunjangan sebagai Pahlawan Nasional yang “hanya” Rp50 juta per tahun yang diburu,tetapi predikat “Pahlawan Nasional” selalu menjadi idaman setiap warga negara.
Advertorial itu dimuat di halaman 1 media utama, dengan ukuran 7 kolom x 10 cm. Kalau per mm kolom, media utama itu mematok harga Rp165.000 per mm/kolom. hitung sendiri berapa biaya yang dibutuhkan untuk pemuatan advertorial itu.
Apalagi kalau dimuat di halaman 1. Biasanya, biayanya akan membengkak 2 @ 3 kali lipat. Kalau biaya advertorial itu harus dibayar oleh perseorangan tentu tak menjadi soal.Tetapi kalau advertorial itu dipasang oleh suatu instansi/Lembaga pemerintah,persoalannya akan menjadi lain.Bukankah itu berarti biaya advertorial itu menjadi tanggungan pembayar pajak ?***






