Oleh: Iwan Kurniawan 

 

1. Pahlawan Baru di Tengah Penjajahan Algoritma

Dulu, berjuang dengan bambu runcing dan darah di medan perang.
Sekarang, bentuk penjajahan berubah. Ia tak lagi datang dengan kapal perang, tapi dengan algoritma — sistem tak kasat mata yang mengatur apa yang kita lihat, baca, bahkan pikir.

Di dunia digital yang serba cepat, kita sering tak sadar kalau hidup kita dikendalikan oleh “penjajahan algoritma.”
Ia menampilkan berita yang kita suka, bukan yang kita butuh. Ia membuat kita nyaman dalam gelembung opini sendiri, tanpa sempat bertanya: apakah ini benar?

Dan di tengah situasi itu, menjadi pahlawan baru yang melawan dengan senjata berbeda — pena dan nurani.

Menurut Digital News Report 2024 dari Reuters Institute for the Study of Journalism, masyarakat dunia kini lebih banyak mengonsumsi berita melalui internet dan media sosial ketimbang televisi.
Namun, algoritma media sosial bekerja berdasarkan engagement, bukan kebenaran.
Yang viral diangkat, yang benar sering tenggelam.

Di Indonesia, hal itu terlihat jelas saat konflik Rempang (2023) mencuat di linimasa.
Banyak unggahan viral di TikTok dan X (Twitter) justru menonjolkan emosi dan potongan peristiwa, sementara laporan mendalam dari media seperti Tempo, BBC Indonesia, dan Project Multatuli beredar lebih lambat.
Inilah gambaran konkret bagaimana algoritma mendorong sensasi, bukan substansi.

Menurut catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo, 2024), selama 2023 terdeteksi lebih dari 2.300 hoaks, dan lebih dari setengahnya berkaitan dengan isu politik menjelang Pemilu 2024.
Fakta ini menegaskan bahwa disinformasi kini menjadi senjata utama di era penjajahan algoritma.


2. Apa Itu Penjajahan Algoritma?

Istilah “penjajahan algoritma” menggambarkan bentuk baru dominasi dalam kehidupan digital.
Kalau dulu penjajahan dilakukan dengan kekuatan militer atau ekonomi, kini bentuknya bergeser ke penguasaan informasi dan kesadaran publik melalui sistem algoritmik.

Algoritma bekerja di balik layar media sosial dan mesin pencari. Ia menentukan apa yang kita lihat, siapa yang kita dengar, bahkan bagaimana kita berpikir.
Sama seperti kolonialisme masa lalu yang menanamkan nilai asing, algoritma modern menanamkan selera dan cara pandang yang seragam.

Contohnya terlihat dalam penelitian Center for Countering Digital Hate (2023) di Inggris, yang menemukan bahwa pengguna YouTube yang menonton satu video konspirasi bisa diarahkan ke puluhan video serupa hanya dalam hitungan menit.
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia, ketika algoritma platform mendorong konten politik atau agama yang provokatif demi waktu tonton.

Dalam dunia media, persaingan klik membuat banyak redaksi tergoda menyesuaikan gaya liputan agar “ramah SEO”: judul sensasional, isi pendek, kadang tanpa verifikasi memadai.
Inilah kondisi ketika jurnalisme menyesuaikan diri dengan mesin, bukan dengan nurani manusia.

Penjajahan algoritma bersifat halus. Tidak ada larangan, tidak ada kekerasan fisik. Tapi publik diarahkan perlahan untuk menyukai hal-hal yang dangkal, bukan mendalam.
Itulah tantangan moral jurnalis masa kini — menulis untuk manusia, bukan untuk mesin.


3. Jurnalis: Penjaga Nurani di Tengah Gangguan Mesin

Banyak jurnalis bekerja tanpa sorotan. Mereka tak memakai seragam, tak diarak di jalan, tapi dampaknya besar.
Di Indonesia, kita bisa belajar dari Tempo, yang lewat kanal YouTube mereka terus mempertahankan ruang publik di tengah tekanan algoritma hiburan.
Ia tetap menampilkan liputan yang memihak fakta, bukan sekadar trending topic.

Contoh lain datang dari Project Multatuli, media independen yang berani mengangkat isu perempuan, agraria, dan lingkungan — topik yang jarang “disukai algoritma.”
Meski tak viral, beberapa laporan mereka memicu reaksi publik dan kebijakan di daerah.

Di tingkat global, Maria Ressa dari Rappler (Filipina) menjadi simbol perlawanan terhadap ekosistem digital yang disetir disinformasi.
Ia menghadapi tekanan hukum karena mengungkap jaringan propaganda daring yang memanfaatkan algoritma media sosial untuk menyebar kebencian.
Atas keberaniannya, ia menerima Hadiah Nobel Perdamaian 2021.

Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia) mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2024, termasuk serangan digital dan doxing terhadap wartawan.
Angka itu menunjukkan bahwa perjuangan menjaga kebenaran masih berisiko tinggi.

Di tengah tekanan tersebut, jurnalis yang tetap setia pada verifikasi dan keberimbangan sejatinya sedang melawan penjajahan digital.
Seperti disebut UNESCO (2023) dalam laporan World Trends in Freedom of Expression, disinformasi adalah salah satu ancaman paling serius bagi demokrasi modern.
Dan mereka yang menolak tunduk pada algoritma adalah pahlawan yang menjaga cahaya itu tetap menyala.


4. Perlawanan Kecil yang Menjaga Kemerdekaan Pikiran

Perlawanan terhadap penjajahan algoritma bukan hanya tugas jurnalis, tapi juga pembaca.
Kita bisa mulai dari hal kecil:

  • Memeriksa sumber sebelum membagikan berita.

  • Membaca hingga tuntas, bukan hanya dari judul.

  • Mendukung media yang kredibel, bukan yang paling ramai.

Saat isu Pemilu 2024 memanas, banyak orang tertipu potongan video di TikTok tanpa melihat konteks.
Namun publik yang membaca laporan lengkap dari media kredibel seperti Kompas, Tempo, atau Koran Mandala cenderung lebih tenang dan kritis.

Di sisi lain, komunitas CekFakta, hasil kolaborasi AJI, AMSI, dan Mafindo, tiap hari memverifikasi konten menyesatkan dan membagikan hasilnya secara terbuka.
Mereka adalah contoh nyata pahlawan kecil yang berjuang menjaga ruang publik tetap bersih.

Menjadi pembaca kritis juga bentuk kepahlawanan.
Jika dulu pahlawan mengangkat senjata melawan penjajah, kini jurnalis dan publik mengangkat pena dan kesadaran melawan penjajahan algoritma.
Perjuangan mereka tak selalu terlihat, tapi terasa — setiap kali kebenaran muncul di tengah kabut kebohongan digital.

Penulis adalah pendamping jurnalis di koranmandala dan praktisi pendidikan. 

Listen to this article

Menyajikan berita dan konten-konten yang menarik tapi berkualitas dengan bahasa yang lugas. Menuju Indonesia lebih baik.