Oleh: Widi Garibaldi
Bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo ambruk di ujung bulan September yang lalu. Akibatnya, 63 santri menemui ajal. Hampir 200 anak yang sedang menuntut ilmu agama disana menjadi korban. Ketika sedang menunaikan sholat Ashar, mereka tertimpa dan terhimpit runtuhan bangunan.
Di bawah reruntuhan yang menghimpit, anak-anak itu memanjatkan doa semoga uluran tangan penolong menemukan mereka. Untunglah, petugas-petugas Basarnas yang cekatan, memanfaatkan golden time yang dimiliki para korban. Walau begitu, puluhan santri meninggal.
Tiang penyangga lantai 3 bangunan yang sedang dicor patah, tak kuat memikul beban yang berat. Itulah yang dinamakan gagal konstruksi. Kalau saja Ponpes itu dibangun berdasarkan IMB, kegagalan konstruksi itu tentu tak akan terjadi. Secara tekhnis semua sudah diperhitungkan.
Tetapi lacur, pondok pesantren itu ternyata tak berizin. Nah, sekarang siapa yang harus mempertanggungjawabkan melayangnya nyawa ke 63 santri,harapan keluarga dan harapan bangsa itu ?
Berlindung di balik takdir
Musibah yang menimpa Pondok Pesantren Al Khoziny itu dikhawatirkan juga akan menimpa bangunan-bangunan tak berizin lainnya .Kabarnya, di daerah kabupaten Bandung saja tak kurang dari 7.200 bangunan mesjid tak memiliki IMB.
Belum lagi pondok-pondok pesantren serta bangunan-bangunan rumah ibadah lainnya.Jumlah sebanyak itu pasti akan bertambah manakala kita hitung pula di daerah lain.
Mungkin sekali, mereka yang berniat membangun pondok-pondok pesantren dan bangunan-bangunan keagamaan itu merasa tak membutuhkan izin Pemerintah. Mengapa ? Tanpa izin juga, bangunan dibiarkan berdiri. Manakala runtuh, itu dianggap sudah takdir ! Rupanya,mana yang takdir Mubram dan mana yang takdir Muallaq,sudah dicampur baur.
Khusus untuk pembangunan rumah-rumah ibadah ini, law enforcement atau penegakan hukum ternyata amat lemah. Sanksi-sanksi termasuk pidana tak pernah dilaksanakan. Maklum, bangunan untuk ibadah. Lemahnya penegakan hukum juga terjadi di bidang bangunan-bangunan non ibadah. Di Pasuruan, SD Negeri Gentong, ambruk. Hal yang sama menimpa SD Negeri Plumbon, Cirebon. Begitu juga dengan SD Negeri Mauk, Tangerang. Menyusul SMK Cileungsi, Bogor. Itu semua terjadi karena penyimpangan-penyimpangan IMB yang terjadi.
Betapa pentingnya penegakan hukum, untuk kesekian kalinya dibuktikan oleh kasus robohnya bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo. Jiwa puluhan remaja yang sedang menuntut ilmu, melayang. Itu semua terjadi karena kita tak mengindahkan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kita sudah terbiasa ingin “ces pleng”.
Kalau ingin lulus ujian, tinggal nyontek atau plagiat. Kalau ingin gelar Doktor atau Profesor, tinggal cari Perguruan Tinggi yang mau diajak kerja sama. Begitu seterusnya, sehingga kita menganggap bahwa peraturan dan ketentuan itu,tidak penting. Semua mau serba instan. Tanpa kerja keras, semua keinginan dianggap dapat terwujud. Termasuk, mereka yang ingin cepat kaya. Tinggal korupsi !***






