0leh: Widi Garibaldi
Prinsip harus menggunakan sapu yang bersih untuk membersihkan ruangan, benar-benar dipraktikkan di Hongkong. Karena itu, Polisi di bekas jajahan Inggeris itu menjadi sasaran pertama dan utama ICAC dalam pemberantasan korupsi. ICAC ( Independent Commission Against Corruption ) adalah badan anti korupsi milik Hongkong. KPKnya Wilayah Administratif Khusus Tiongkok itu.
Kini, jajahan yang sejak 1997 lepas dari genggaman Inggeris itu bersih dari kejahatan yang menjadi musuh utama banyak bangsa dan negara. ICAC menjadi panutan banyak negara. Kesuksesannya dimulai terlebih dahulu dari upaya membersihkan diri sendiri, mereformasi diri sendiri.
Berbeda dengan Hongkong. Presiden Georgia (pecahan Uni Sovyet) yang bernama Mikheil Saakashvili, pada tahun 2005 nekad memecat tak kurang dari 30.000 Polisinya karena dianggap penuh dengan perbuatan nista,korupsi. Polisi korup itu kemudian diganti dengan tenaga-tenaga baru yang masih segar. Gaji mereka dinaikkan, tak tanggung-tanggung. 20 kali lipat. Hasilnya, warga Georgia yang semula menjadi malas berurusan dengan Polisi karena “lapor kambing hilang, sapi justru melayang” sekarang menjadi begitu akrab dengan mereka. Hal sekecil apapun, seperti kunci hilang, warga lapor Polisi. Di sini kita tidak menemukan tindakan reformasi, tetapi sebaliknya revolusi. Suatu tindakan yang drastis. Mengganti seluruhnya, mulai dari akarnya !
Bagaimana dengan Polri kita ?
Apa yang terjadi di Hongkong dan Georgia itu, membuahkan hasil positif. Baik reformasi maupun revolusi. Kuncinya adalah kesungguhan hati. Bukan tindakan pura-pura, agar terlihat memenuhi keinginan masyarakat yang turun ke jalan, melakukan demonstrasi.
Kekhawatiran inilah yang menguat, di tengah munculnya wacana reformasi tubuh Polri yang baru baru ini sudah direstui Presiden Prabowo. Akankah reformasi Polri itu akan dilaksanakan sungguh-sungguh ? Bahwa reformasi harus dilaksanakan secepatnya, sudah merupakan kesepakatan bersama. Seruan untuk me-reform tubuh Bhayangkara negara itu semakin menguat, ketika masyarakat menyaksikan tindak tanduknya dalam menangani demonstrasi yang terjadi di bulan Agustus yang lalu.Bukan hanya karena seorang pengendara ojek on line bernama Affan Kurniawan yang menemui ajal karena dilindas mobil rantis Brimob, tetapi juga karena penanganan demonstrasi yang dinilai jauh dari profesionalisme.Penanganan yang tidak transparan membuat masyarakat bertanya tanya akan nasib pendemo yang ditangkap, di samping berapa yang hilang, tak tentu rimbanya. Belum lagi mengenai jumlah sebenarnya para pendemo yang menemui ajal, di samping almarhum Affan Kurniawan.
Semuanya serba tak jelas. Begitu juga dengan jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang menjadi dalang dari demonstrasi besar yang juga mengakibatkan penjarahan dan pembakaran besar-besaran itu ?
Tidaklah berlebihan kalau kemudian 6 lembaga nasional HAM membentuk Tim Independen Pencari Fakta untuk membongkar hal ihwal demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi akhir bulan Agustus itu. Ke-6 lembaga ini terpaksa “turun gunung” untuk mencari dan menemukan “udang” yang bersembunyi di balik “batu”. Untuk mencari dan menemukan dalang kerusuhan yang berhasil menunggangi para demonstran***
