0leh: Widi Garibaldi
Kekuasaan negara itu. menurut filsuf dan pemikir politik dari Perancis yang bernama Montesquieau (1689-1755), terdiri dari kekuasaan eksekutif-legislatif dan yudikatif. Di Indonesia, kita antara lain mengenal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga negara yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama Presiden.
Lembaga ini, yang juga dikenal sebagai Parlemen, sengaja dibentuk antara lain untuk dapat menyalurkan aspirasi rakyat dan menuangkannya ke dalam undang-undang.
Apa yang terjadi pada tanggal 25 Agustus yang lalu dan setelahnya, adalah demonstrasi besar-besaran yang pecah di banyak kota. Mulai dari Jakarta,Bandung, Cirebon,Semarang, Surabaya, Medan hingga Makassar dan banyak kota lainnya lagi.
Rakyat turun ke jalan karena aspirasinya tak ditampung dan disalurkan oleh lembaga legislatif yang sengaja dibentuk untuk maksud itu. Para Wakil Rakyat yang duduk di lembaga ini, telah di “nina bobokkan” oleh kondisi dan fasilitas yang serba wah sehingga bertolak belakang ibarat “bumi dan langit” dengan keadaan para pemilihnya.
Boro-boro menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat, para Wakil Rakyat itu sibuk dengan urusan sendiri. Selain gaji yang aduhai, mereka diguyur pula dengan aneka ragam tunjangan. Terakhir, tunjangan perumahan. Rp 50 juta per bulan. Maksudnya, biaya kontrak rumah per bulan hingga Oktober 2029.
Padahal, kompleks perumahan dinas DPR di Kalibata Jakarta masih layak huni.Kendati demikian sengaja ditinggalkan, kosong melompong. Kebanyakan anggota DPR itu sebenarnya punya rumah pribadi di Jakarta. Malahan ada yang super mewah, 3 lantai seperti milik Eko Patrio yang bernilai hampir Rp100 miliar! Nah, tunjangan perumahan yang Rp50 juta per bulan itu tentu tinggal masuk saku.
Jangan asal pilih
Kondisi Pemilih yang papa, tak pernah mendapat perhatian khusus dari para Wakil Rakyat itu. DPR sebagai Lembaga penampung dan penyalur aspirasi berubah fungsi menjadi arena pamer kekuasaan dan kekayaan. Penghuninya berjoget ria melupakan tanggung jawab yang ada di atas pundaknya.
Rancangan UU Asset Recovery (Perampasan asset) yang sangat dibutuhkan dalam pemberantasan korupsi tak pernah disentuh. Aspirasi rakyat yang tak tersalur pada tempatnya, akhirnya mencari saluran sendiri di luar Gedung DPR yang megah.
Demonstrasi segera meledak ibarat api disiram bensin. Kekecewaan rakyat semakin menjadi jadi ketika kinerja Pemerintah dan Wakil Rakyat yang tak terpuji beruntun terjadi. Apalagi setelah mendengar tanggapan salah seorang anggota DPR yang menjadi Wakil Ketua Komisi III dari partai Nasdem yang bernama A.Sachroni.
Ia mencap mereka yang mengusulkan pembubaran DPR sebagai “orang tolol se Dunia”. Rupanya Sachroni tak menangkap isyarat di belakang usulan itu. Parlemen harus dibersihkan dari mereka yang tak mampu mengemban tugas sebagai Wakil Rakyat yang menjadikan lembaga yang mulia itu sebagai tempat pamer diri, bukan untuk memperjuangkan nasib rakyat yang melarat.
Kebanyakan dari mereka ini memang jadi Wakil Rakyat karena “salah pilih”. Karena “setiap detik” hilir mudik di layar kaca menjadikan Pemilih merasa akrab. Hasilnya, jadilah para pelawak,presenter, penyanyi itu sebagai Wakil Rakyat.
Demo tak lagi dapat dibendung ketika sebuah mobil taktis milik Brimob melaju dengan cepat dan tak terkendali melindas seorang driver Ojol di Pejompongan.Kendaraan Brimob itu tak mengindahkan nasib korban. Terus melaju dengan cepat.
Malangnya,Affan Kurniawan sang korban, menemui ajal seketika. Demo menjalar ke seluruh Nusantara, banyak gedung dibakar. Si tangan panjangpun ikut memanfaatkan situasi, menjarah barang milik orang lain.
“Untung”nya, demo besar ini terjadi ketika Prabowo mengakhiri tahun pertama pemerintahannya.Karena itu, ia dapat menyaksikan langsung penilaian masyarakat terhadap kepemimpinannya. Selama ini, penilaian masyarakat yang murni itu sulit diperolehnya karena “tebal”nya tembok istana yang memisahkan dirinya selaku Presiden dengan rakyat.***






