Oleh: Widi Garibaldi
Tatkala Presiden menganugrahkan Abolisi dan Amnesti untuk Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong yang mantan Menteri Perdagangan dan Hasto Kristiyanto yang Sekjen PDIP, puji syukur banyak dipanjatkan kepada Sang Pencipta. Bagaimana tidak ? Thom Lembong yang dijatuhi hukuman 4,5 tahun dan 3,5 tahun penjara untuk Hasto oleh Pengadilan Tipikor, seharusnya dibebaskan karena nuansa politik yang kental mewarnai kedua perkara itu. Ternyata pengadilan Tipikor menganggap mereka bersalah, kendati Tom Lembong terbukti tak punya niat jahat (mens rea) serta tidak terbukti memperkaya/menguntungkan diri sendiri dan Hasto tidak pula terbukti menghalang-halangi penyidikan.
Tom Lembong Jadi Tersangka Korupsi Impor Gula, Rugi Hingga Rp 400 Miliar
Ada anggapan bahwa siapapun, yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan di Pengadilan Tipikor, harus dihukum. Bukankah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Korupsi itu dikenal sebagai Pukat Harimau ? Jadi, siapapun pasti terjaring ! Tidak terkecuali mereka yang diduga kental nuansa politisnya seperti Thom Lembong dan Hasto Kristiyanto.
Mungkin, kekhawatiran akan efek pukat harimau itu juga yang mendorong Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatifnya ketika memberi abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto.
Bahwasanya Pengadilan Tipikor itu bukan pengadilan yang mempraktikkan pasal-pasal “pukat harimau” ternyata telah dibantah sendiri oleh Mahkamah Agung.
Buktinya, Artidjo Alkostar (alm), yang dikenal sebagai algojo para koruptor. Di tingkat kasasi, ia selaku Hakim Agung yang mengetuai majelis, senantiasa menggandakan hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor di tingkat yang lebih rendah,tingkat pertama atau banding. AU yang semula dihukum 7 tahun dalam perkara korupsi Hambalang, di tingkat kasasi justru diganjarnya menjadi 14 tahun. Begitu juga dengan AS seorang ibu yang harus menerima ganjaran Artidjo dengan hukuman 12 tahun,padahal di tingkat yang lebih rendah hanya 4 tahun penjara. Para koruptor yang tadinya mengharapkan keringanan di tingkat kasasi, justru mendapat hukuman lebih berat. Karena itu banyak koruptor yang sudah divonis di tingkat pertama atau banding, harus berpikir 3 @ 4 kali untuk mengajukan permohonan kasasi. Soalnya, di sana Artijo sudah menghadang dengan palu godamnya.
Tapi, benarkah Artidjo seorang hakim yang tak punya hati nurani ? Ternyata dalam perkara korupsi Videotron di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Artidjo yang mengetuai majelis hakim yang terdiri dari Krisna Harahap dan MS Lumme,12 Januari 2016 yang lalu, justru membebaskan salah seorang terdakwanya. Ia, seorang office boy (OB) bernama Hendra Saputra. Office Boy ini, oleh anak sang Menteri Koperasi dijadikan Direktur Utama perusahaan miliknya yang “memenangi” tender dan mengerjakan proyek Videotron senilai Rp 5 M di Kementerian Koperasi itu. Maklum anak seorang Menteri. Sang OB disuruh menandatangani surat-surat hingga lembaran cheque. Jadi jelas, sang OB hanyalah boneka belaka.
Mengacu kepada perkara Office Boy itu, Prof.Hibnu Nugroho dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) melalui DetikNews.com menyatakan bahwa Hakim haruslah berhati hati dalam membuat argumen hukum. Pertimbangan hukumnya harus logis dan memenuhi rasa keadilan. ”Jangan membuat putusan yang tidak sinkron atau ada kepentingan-kepentingan”,kata Prof. Hibnu. “Asalkan ada alasan yang kuat, hakim jangan takut membebaskan atau melepaskan terdakwa.Terdakwa korupsi sekalipun, ujarnya.
Sang Guru Besar barangkali akan mempertegas bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak harus selalu menjatuhkan putusan menghukum. Karena itu, proses pengadilan Tipikor tentu tidak elok kalau dicampuri dengan pemberian abolisi atau amnesti kendati merupakan hak Presiden sebagaimana diatur dalam Konstitusi Pasal 14 ayat 2