Oleh:
Sony Fitrah Perizal
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, jagat media sosial diramaikan oleh fenomena yang tak biasa: pengibaran bendera bajak laut One Piece di sejumlah tempat. Aksi ini menuai berbagai reaksi—dari gelak tawa, kekaguman kreatif, hingga kecaman serius terhadap dugaan pelecehan terhadap simbol-simbol negara.
Dalam dunia digital yang serba cepat dan tanpa batas, ekspresi budaya pop memang kerap melampaui ruang hiburan. Namun, ketika simbol-simbol dari dunia fiksi seperti Jolly Roger dikibarkan di ruang publik menjelang hari sakral nasional, kita patut merenung: apakah ini sekadar bentuk kreativitas? Atau isyarat keresahan yang lebih dalam dari generasi muda terhadap realitas bangsa?
Anton Charliyan: Nasionalisme Orang Jawa Barat Sudah Kuat Sejak Nenek Moyang
Fenomena ini bukan semata-mata soal anime atau fandom. Ini soal identitas, representasi, dan bagaimana anak muda memaknai nasionalisme di era digital. Di tengah ketidakpuasan terhadap kondisi sosial—mulai dari kesenjangan ekonomi, krisis kepercayaan terhadap elit, hingga kesulitan akses terhadap keadilan—simbol fiksi bisa berubah menjadi metafora perlawanan atau pelarian.
Implikasi terhadap Stabilitas Nasional
Pengibaran bendera nonresmi di tempat umum bisa menimbulkan pertanyaan besar soal wibawa negara dan efektivitas penegakan hukum. Jika dibiarkan tanpa penjelasan atau tanggapan yang bijak, potensi munculnya keresahan sosial bahkan polarisasi bisa semakin besar. Bukan karena satu bendera One Piece, tetapi karena negara dianggap tidak mampu membedakan mana yang pantas, mana yang meresahkan, dan mana yang harus didengar.
Namun, pendekatan represif juga bukan jawaban. Di sinilah letak tantangan pemerintah dan pemimpin bangsa—bagaimana menjaga stabilitas nasional tanpa menutup ruang dialog dan ekspresi publik. Kita tidak bisa membangun nasionalisme yang kuat dengan memadamkan suara-suara kritis, sekreatif atau senyinyir apa pun mereka.
Saatnya Mengutamakan Kepentingan Nasional, Tanpa Abaikan Rakyat
Peringatan kemerdekaan semestinya menjadi momentum refleksi bersama, bukan sekadar seremoni simbolik. Kita butuh nasionalisme yang hidup, bukan yang dikultuskan. Kita perlu kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan hanya narasi persatuan yang kosong makna.
Ramainya bendera One Piece bukan akhir dari nasionalisme, tapi panggilan untuk mendekatkan negara dengan rakyatnya. Agar Merah Putih tetap berkibar di hati, bukan sekadar di tiang bendera.