Minggu, 21 September 2025 15:04

Oleh:

Widi Garibaldi

Kendati telah memberi peringatan berkali-kali, golongan  serakah yang mengeruk keuntungan di Bumi tercinta ini masih saja terus beraksi.Begitu kata Presiden Prabowo di penutupan Kongres pertama Partai Solidaritas Indonesia (PSI), baru-bari ini di Surakarta. Dengan penuh masgul, ia mengancam akan segera mengakihiri praktik-praktik jahat itu.

Golongan serakah yang dimaksud oleh Presiden itu, jauh sebelumnya telah dibedah tuntas oleh Prof.Krisna Harahap dalam bukunya yang berjudul “Pemberantas Korupsi di Indonesia, jalan tiada ujung”. Korupsi itu selain dilakukan oleh mereka yang butuh karena pendapatan yang pas-pasan juga dilakukan oleh mereka yang serakah yang ingin hidup serba “wah”. Mereka ini, nekat melakukan korupsi, tak hirau akan akibatnya, rakyat hidup sengsara. Karena kepuasan itu tidak ada batasnya,maka mereka yang serakah itu (corruption by greeds) akan terus melakukan aksinya.

Syukurlah, kemasgulan Presiden itu sampai pada suatu simpulan bahwa Koruptor tidak akan mengakiri perbuatannya hanya dengan suatu peringatan atau ancaman. Pemberantasan, adalah satu-satunya bahasa yang mereka pahami.

Satunya kata dan perbuatan.

Sayang sekali,tekad Presiden itu ternyata tak sejalan dengan apa yang diucapkannya. Pada tanggal 24 Februari yang lalu, DPR mengesahkan UU No.1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Undang-undang baru yang disyahkan oleh Presiden itu adalah hasil ramuan DPR yang lebih dari 80 % kekuatannya berada di tangan Presiden sendiri. Dengan mengubah UU No.19 Tahun 2003, Lembaga Legislatif itu menjadikan Negara tak lagi memiliki akses langsung mengawasi BUMN. Di dalam Pasal 3 X ayat (1) dengan tegas ditetapkan bahwa organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara.Begitu pula dengan ketentuan Pasal 9 G yang menyatakan bahwa Anggota Direksi,Komisaris dan Dewan pengawas BUMN bukan Penyelenggara Negara.

Sementara itu, di dalam ketentuan Pasal 4 B dinyatakan bahwa kerugian dan keuntungan BUMN/Danantara bukan dianggap sebagai kerugian atau keuntungan negara. Dengan ketentuan ini, Pembentuk Undang-undang (DPR dan Pemerintah) hendak mengatakan bahwa uang negara yang diambil dari APBN atau APBD dan ditempatkan di BUMN/Danantara bukan lagi milik negara. Ketentuan ini tentu saja sangat bertentangan dengan ketentuan yang diatur di dalam undang-undang Pemberantasan Korupsi yang menyatakan kemanapun uang negara itu ditempatkan, statusnya tetap saja sebagai uang negara. Nah, kalau ada yang main-main dengan uang negara yang ditempatkan di BUMN atau Pesantren sekalipun, uang itu tetap dianggap sebagai uang negara.Jadi,yang mempermainkannya, akan dianggap sebagai perbuatan berupa tindak pidana korupsi. Artinya, ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu di muka meja hijau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sebaliknya, manakala alur pikir Pembentuk UU No.1 Tahun 2025 yang kita ikuti, berarti uang yang ditempatkan di BUMN itu sudah bertransformasi dari uang negara yang semula diatur menurut APBN ke keuangan perusahaan negara yang bersangkutan. Artinya, tidak lagi diatur oleh hukum publik tetapi oleh  hukum privat alias Hukum Perdata sehingga korupsi yang terjadi tidak lagi dapat diperiksa oleh KPK, Kejaksaan Agung atau Polri.

Semoga tekad yang dikumandangkan oleh Presiden Prabowo itu tak terpengaruh oleh UU No.1 Tahun 2025. Soalnya,begitu banyak perkara korupsi yang tidak tuntas diperiksa dan diadili. Katakan saja korupsi di PT Asabri, PT Asuransi Jiwasraya, Bank Mandiri, pengadaan pesawat di Garuda Indonesia, Tata Niaga Timah, Waskita Karya  dan korupsi besar-besaran di Pertamina yang terjadi ketika Presiden Soeharto masih di tampuk kekuasaan.

Memang, memberantas para Koruptor yang serakah itu tak akan cukup dengan omon-omon belaka. Harus satu kata dan tindakan

Comments are closed.

Exit mobile version