Koran Mandala –”…Sedangkan golongan cacah biasanya menggunakan kain batik sisian/batik kasar dan polos hitam/ iket wulung”.
Falsafah dan Rupa Iket Kepala
Secara filosofis, Iket berasal dari kata saiket/satu ikatan, artinya sauyunan dalam satu kesatuan hidup. Ibarat lidi, jika sehelai tidak mempunyai fungsi, tapi jika dibentuk menjadi satu ikatan sapu, maka akan mampu membersihkan apa pun. Begitu pula manusia berlaku individual, tentu berat menghadapi suatu masalah. Lain ceritanya jika dilakukan bersama, gotong royong. Iket juga menandakan agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dari jati diri Kasundaan.
Kepala merupakan subjek yang diikatnya, dan persoalan yang datang dari luar dan dalam dirinya merupakan objek yang harus dihadapi. Agar hidup senantiasa caringcing pageuh kancing, saringset pageuh iket (siap menghadapi segala kondisi dan situasi).
Bagi urang Sunda, penghargaan terhadap kepala begitu luhur karena fungsinya sangat vital bagi kehidupan. Kata “pamali” merupakan larangan keras jika seseorang memukul atau menepuk kepala orang lain sekalipun. Hal tersebut bisa ditemukan dalam berbagai istilah keseharian; huluwotan (mata air), hulubalang (pengawal raja), panghulu (penghulu), sampai digunakannya dalam peribahasa; gedé hulu (sombong), asa dicabak hulu (merasa dipermainkan), teu puguh hulu buntutna (tidak jelas urusannya), nepi ka nyanghulu ngalér (sampai mati), dan sebagainya.
Motif dalam iket dibagi menjadi empat bagian, yaitu pager, modang, waruga, dan juru. Pager adalah motif yang ada di sekeliling iket. Modang, bentuk kotak pada bagian tengah iket. Waruga, bagian tengah iket yang polos. Serta juru merupakan motif yang ada di setiap sudut iket. Sedangkan bentuk iket ada dua bagian, yaitu persegi dan segitiga. Sebenarnya atau aslinya semua bentuk iket kepala itu kainnya persegi, menjadi segitiga karena dilipat atau dipotong dari bentuk asli untuk mempermudah pemakaian.
Dua bentuk ini mempunyai falsafah hidup. Bentuk persegi menunjukkan hidup masagi/sempurna dalam arti pemikiran, dengan siloka opat kalima pancer atau opat pancer kalima diri urang. Pancer menunjukkan empat madhab/arah (utara, selatan, timur, barat) dan bahan yang menjadi dasar kehidupam (tanah, air, angin, api).
Bentuk persegi juga terdapat di tengah motif/modang, yang selalu berlawanan dengan bentuk iket (diagonal), untuk membedakan dengan kain lain yang sejenis. Jika ilket dilipat jadi segitiga, bentuk modang ini akan lurus (horizontal). Hal ini menunjukkan kapancegan/konsistensi pandangan hidup. Dan bentuk segitiga sendiri adalah kesamaan konsep tritangtu (ratu, rama, resi) yang harus dimaknai secara luas.
Rupa iket awalnya hanya dikenal tujuh bentuk pemakaian. Tapi, seiring dengan kreatifitas masyarakatnya, rupa iket semakin bervariasi, antaranya barangbang semplak, parékos/paros (parékos/paros nangka, jéngkol, gedang), koncér/paitén, julang ngapak, lohén, ki parana, udeng, pa tua, kolé nyangsang, porténg, dll.
Dari rupa iket dapat menunjukkan golongan, seperti rupa iket barangbang semplak (di Cirebon disebut iket mantokan urung ceplakan) biasa dipakai oleh jawara, kuda ngencar untuk remaja, parékos/poros (di Cirebon disebut iket duk liwet) dipakai kaum tua untuk kegiatan ritual, porténg dipakai untuk kegiatan sehari-hari dalam bekerja, dan udeng dipakai golongan ménak.
Bukan sekadar gaya, iket merupakan warisan budaya yang luhur nilainya, harus kukuh dipegang sebagai wujud simbolis keutuhan hidup. Begitu juga bagi orang Sunda sendiri, apakah hanya membanggakan luarnya saja sebagai bentuk indentitas, atau lebih mementingkan isinya. Menurut Dr. Ir. Thomas NIX, peneliti dari Belanda (Stedebouwin Indonesia Rotterdam, 1949), leluhur masyarakat Indonesia, khususnya Pulau Jawa, sudah mewariskan kearifan lokal dalam segala unsur kehidupan.
Nu lima diopatkeun, nu opat ditilukeun, nu tilu diduakeun, nu dua dihijikeun, nu hiji jadi kasép (yang lima dijadikan empat, yang empat dijadikan tiga, yang tiga dijadikan dua, yang dua dijadikan satu, yang satu jadi tampan), kalimat yang diucapkan budayawan Bandung – Jakob Sumarjo ini, tentunya harus direnungi bagi setiap pemakainya. Bukan sekedar gaya, tapi harus dipahami makna dibalik lipatannya. Ketika dari lima menjadi satu, maka individu berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Satu.
Melihat fenomena yang muncul kini, iket semakin trend di kalangan anak muda. Dengan berbagai motif dan gaya pemakaian. Bisa jadi dilatarbelakangi oleh kerinduan terhadap nilai tradisional yang semakin tergerus oleh modernisasi. Atau hanya sekedar pencitraan identitas tanpa pemaknaan. Meskipun demikian, harus jadi kebanggaan bersama dengan diarahkan pertanggungjawabannya. Bahwa mengenal dan memaknai kembali kebudayaan Sunda tidak harus secara paksa.
Tapi, diawali dengan kesadaran kecintaan melalui iket. Dengan cara itu, iket tidak akan kalah dengan ikat kepala/syal bergambar grup musik barat.
Makna Filosofis Dalam “Iket” Sunda
Generasi muda saat ini banyak yang gandrung dengan pemakaian “iket“. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam membentuk “iket”, tetapi tetap memiliki acuan terhadap satu garis penciptaan karya “buhun” (kuno) “…saceundeung kaen” (Bujangga Manik, isi naskah baris 36)
Penggalan kalimat tertulis di atas terdapat dalam naskah kuno Bujangga Manik yang menceritakan perjalanan Prabu Jaya Pakuan, seorang Raja Pakuan Pajajaran yang memilih hidupnya sebagai resi. Naskah diperkirakan ditulis sekitar abad ke-14. Isi naskah terdiri atas 29 lembar daun nipah yang masing-masing berisi 56 baris kalimat, terdiri atas 8 suku kata.
Kalimat “… saceundeung kaen ” mengandung arti selembar kain yang sering digunakan sebagai penutup kepala. Di tatar Sunda disebut totopong , iket, ataupun udeng . Pemakaian iket berkaitan dengan kegiatan sehari-hari ataupun ketika ada perhelatan resmi seperti upacara adat dan musyawarah adat. Untuk beberapa waktu, umumnya kain penutup kepala hanya disebut totopong, iket, atau udeng totopong , iket , atau udeng . Tidak ada bukti tertulis mengenai sumber sejarah tentang penamaan iket atau yang sekarang disebut rupa iket. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman, penamaan untuk rupa iket menjadi bagian dari kebudayaan yang mengandung nilai dan makna tersendiri.
Penamaan atau rupa iket dikategorikan sesuai zamannya, yaitu iket buhun (kuno) dan iket kiwari (sekarang). Untuk iket buhun sendiri ada yang berupa bentuk iket yang telah menjadi warisan secara turun-temurun dari para leluhur, ada pula rupa iket yang lahir dari kampung adat. Sementara itu, untuk iket kiwari, iket tersebut merupakan rekaan dari beberapa orang yang memiliki rasa kebanggaan terhadap budaya iket buhun dan kreativitas dari nilai kearifan lokal.
Bahkan, beberapa rupa iket kiwari itu sendiri masih memiliki ciri yang mengacu pada pola rupa iket buhun. Beberapa nama rupa iket buhun yang dikenal oleh sebagian besar umumnya adalah Barangbang Semplak, Parekos Jengkol, Parekos Nangka, dan Julang Ngapak. Parekos atau paros memiliki arti “menutup”. Yang berarti tipe rupa iket yang menutup bagian atas kepala atau hampir membungkus.
Dalam perupaan iket, di dalamnya terkandung filosofi. Hal inilah yang membuat iket itu sendiri menjadi salah satu warisan leluhur yang mengandung nilai yang begitu tinggi adanya. Seperti filosofi yang terkandung dalam rupa iket Julang Ngapak yang konon dahulunya dipakai khusus oleh para pandita kerajaan atau disebut purahita .
Filosofi yang terkandung berdasar kepada laku hidup seekor burung Julang ( Sundanese wrinkled hornbill ).
Tipe burung ini sebelum mereka mendapatkan sumber air tersebut, mereka tidak akan berhenti mencari. Karakter inilah yang diadopsikan menjadi simbol Julang Ngapak, yaitu bahwa kita jangan pernah lelah mencari sumber kehidupan (ilmu, darma, dan jatidiri) sebelum mencapai hasil yang diinginkan.
Di luar rupa atau penamaannya, iket Sunda sendiri mengandung nilai makna filosofi yang dikenal dengan sebutan Dulur Opat KalimaPancer. Dulur Opat merupakan empat inti kehidupan yaitu api, air, tanah, dan angin. Dan Kalima Pancer mengandung makna yaitu berpusat pada diri kita sendiri. secara garis besar, Dulur Opat Kalima Pancer memiliki arti bahwa empat elemen inti tersebut terdapat pada diri kita dan berpusat menyatu sebagai perwujudan diri.
Mengenai iket kiwari yang telah berkembang saat ini, penamaan dan bentuk tetap berdasar kepada pola rupa iket buhun. Tanpa mengurangi nilai luhur dari warisan leluhur, begitu pun iket kiwari memiliki nilai-nilai filosofi di dalamnya. Hal inilah yang menjadi bagian dari pelestarian budaya yang bersifat kreatif, tetapi tetap memegang teguh nilai kearifan lokalnya. Terutama di kalangan generasi muda. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam membentuk iket tetapi tetap memiliki acuan terhadap satu garis penciptaan karya buhun (kuno).
Di tatar Sunda ada sebuah Komunitas Iket Sunda (KIS) sendiri merupakan bentuk kreativitas sebagai wadah dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya iket terhdap kalangan muda.
Keberkaitan didalam konteks keberagaman, sesungguhnya ada keberkaitan erat antara nilai-nilai filosofi iket dengan fungsi penutup kepala dalam kaitan nilai Islam. Fungsi dari iket menurut Islam umumnya adalah bisa digunakan sebagai sajadah, pengganti tutup kepala. Hal itulah yang membentuk hubungan antara manusia dan Allah Yang Maha Pencipta yang disebut hablumminallah/hubungan dengan Alloh. Fungsi sebagai hablumminanas/hubungan antar manusia adalah iket sebagai penyambung silaturahmi berdasarkan warisan budaya dan iket sebagai bagian dari cara saling memberi ilmu pengetahuan.
Dalam dunia Islam, dikenal serban atau sorban; udeng sebagai penutup kepala, sebagai bagian dari kelengkapan dalam salat atau beribadah. Memakai serban bagi umat Muslim adalah sunnah Nabi. Dalam beberapa hadis riwayat para sahabat Nabi Muhammad saw, mereka menceritakaan bahwa Nabi selalu menganjurkan agar memakai penutup kepala sebagai bagian dari kelengkapan pakaian salat dan bahkan di luar salat.
Di tatar nusantara sendiri, kita mengenal Wali Songo. Dari beberapa sumber sejarah, kesemuanya memakai penutup kepala. Menurut Oom Somara de Uci, sejarawan dari Rajagaluh, dahulu model rupa iket para wali diadopsi dari rupa iket Cakraningrat yang merupakan warisan Prabu Cakraningrat yang memiliki kekuasaan kerajaan sekitar Rajagaluh Majalengka. Iket yang dikemudian hari disebut iket Cakraningrat Rajagaluh ini mengandung nilai filosofi yaitu iket yang melindungi mustika ; mastaka (kepala). Ini bisa bermakna, mustika ini adalah kepala kita yang memiliki sumber dari sifat dan sikap kita di dunia dari sudut pandang manusia yang memiliki otak sebagai akal pikiran yang bisa memilih mana yang baik dan buruk. Bahkan, dalam perkembangan waktu, model iket Cakraningratini disebut pula iket para wali.
Perbedaan iket Cakraningkat ini dengan iket Sunda lazimnya yaitu terlihat dari model kainnya. Iket Sunda pada umumnya berupa kain segi empat, sedangkan iket Cakraningrat ini memakai kain persegi panjang sejenis karembong (selendang). Cara pemakaiannya rata-rata hanya diselipkan, tidak diiket atau ditali. Cara yang sama seperti pemakaian serban di kepala. Memang tidak ada sejarah tertulis sebagai bukti yang mendukung tentang iket Cakranignrat ini, tetapi perbedaannya menjadi bagian dari kekayaan budaya Sunda.
Filosofi Iket / Totopong
HUKUM PANCADHARMA :
1. Apal jeung hormat ka PURWADAKSI DIRI (Menyadari dan menghormat kepada asal usul diri)
2. Tunduk kana HUKUM jeung ATURAN (Tunduk akan hukum dan tata tertib/ aturan)
3. Berilmu (DILARANG BODOH…!)
4. Mengagungkan SANG HYANG TUNGGAL (Allah SWT)
5. Berbakti kepada BANGSA dan NEGARA.
LIMA HUKUM yang menjaga perilaku BANGSA SUNDA” dititipkan”melalui POLA IKET/TOTOPONG, maka IKET KEPALA bukan sekedar GAGAYAAN.
Wujud wastrana totopong bisa segi opat atawa segi tilu.
Juru anu opat, ngawakilan dulur 4 ka 5 pancer :
1. Amarah
2. Lowamah
3. Sawiyah
4. Mutmainnah.
Ari pancerna nya dilambangkeun ku Modang segi opat di tengahna maksudna diri pribadi sewang-sewangan.
Segi tilu perwujudan tina hukum Tritangtu :
1. Karama’an
2. Karatuan
3. Karésian ( agama )
Ikét dipasangna dina mastaka, kulantaran dina mastaka aya mustika (tempat ngolah sagala rupa pamikiran antara hade jeung goreng, kudu jeung hénteu jeung sajabana, anu tungtungna diputuskeun ku pancér hasil tina urun rembug antara dulur nu opat






