Oleh:
Widi Garibaldi
Menjelang tengah malam, tatkala lebih dari 2,200 penumpangnya sedang bersenandung ria, kapal super mewah Titanic tenggelam ke dasar laut di Samudra Atlantik.Peristiwa mengerikan yang menelan korban nyawa hingga 1.500 orang itu terjadi pada tanggal 14 April 1912. Kendati lebih seabad telah berlalu,musibah yang menimpa kapal super mewah dalam pelayaran perdana dari Southampton menuju New York itu, menjadi acuan betapa sikap angkuh dapat membawa malapetaka. Titatanic, kapal pesiar terhebat di jamannya akhirnya tenggelam menabrak gunung es yang mengakar di bawah laut. Siapapun tak percaya, bagaimana mungkin kapal sehebat Titanic dapat tenggelam.
Tak ubahnya Titanic, Indonesia sebagai bangsa dan negara besar dapat saja berubah menjadi “negara gagal” (failed state) manakala pemerintahnya gagal menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya antara lain dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Korupsi, ditengarai merupakan penghalang utama lancarnya fungsi dan tanggung jawab itu.
Jalan Tiada Ujung
Fakta menunjukkan bahwa semakin efektif penyelidikan dilakukan, semakin menyentakkan kita betapa mengguritanya korupsi di negeri ini.Terbukti tidak ada satu Kementerian dan instansi di bawahnya yang luput dari pekerjaan hina itu. Zarof Ricar yang bertahun tahun berhasil menumpuk hampir Rp 1 T dan 51 kg emas di rumahnya, menunjukkan bahwa mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung itu telah bertahun tahun, hingga ia pensiun, leluasa mengendalikan perkara di pengadilan. Bersama Pengacara, ia dapat mengatur susunan majelis hakim yang akan memeriksa suatu perkara. Di Kementerian Pendidikan Kebudayaan, sedang ditelusuri pengadaan laptop Chromebook dengan anggaran hampir Rp10 T. Begitu pula di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Terjadi sogok menyogok untuk tidak memblokir situs judi daring. Belum lagi permainan kredit yang diguyurkan Bank BJB dan DKI ke perusahaan Sritex. Ini semua terkuak karena Kejaksaan Agung akhir akhir ini menunjukkan taringnya. Akan halnya pihak Kepolisian, tak kunjung kedengaran aksinya dalam upaya pemberantasan korupsi kendati di pertengahan bulan Oktober tahun lalu resmi membentuk lembaga khusus untuk memberantas korupsi yakni KORTASTIPIDKOR.
Akan halnya KPK yang semula sengaja dibentuk untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemberantasan korupsi sehingga diharapkan dapat menjadi stimulus agar Polri, Kejaksaan dan Pengadilan -yang pada waktu itu “memble”- lebih efektif, akhir-akhir ini menunjukkan kinerja biasa-biasa saja.Hal ini terjadi sebagai “hasil” lahirnya UU No.19/2019 yang menempatkannya di wilayah kekuasaan eksekutif. Jadi tidak lagi mandiri, di luar kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tidaklah mengherankan kalau perkara korupsi dana iklan senilai Rp222 miliar di bank BJB yang melibatkan mantan Gubernur Jabar RK itu, tak kedengaran lagi ihwalnya.
Menggambarkan perjalanan panjang memerangi korupsi yang ditempuh bangsa ini sejak proklamasi, Prof.Krisna Harahap dalam bukunya yang berjudul “Pemberantasan korupsi, jalan tiada ujung” menyimpulkan bahwa upaya pemberantasan itu harus terus menerus dilakukan. Tiada henti !