Oleh:
Widi Garibaldi
Jangankan menampik. Predikat “Gubernur Konten”. disambutnya dengan bangga. Itulah Dedi Mulyadi yang kini menjadi Gubernur Jawa Barat, provinsi terpadat penduduknya di Indonesia. Sebagai Gubernur Konten, ia menepuk dada berhasil menghemat anggaran pemerintah daerah untuk belanja iklan. Tadinya Rp 50 miliar. Sekarang cuma Rp 3 miliar, katanya tanpa menunjukkan rincian penghematan itu.
Memang, sejak maju dalam kontestasi pemilihan Gubernur Jawa Barat yang lalu, ia sepenuhnya memanfaatkan media sosial untuk menjaring perhatian para pemilih. Pilihannya, tidak salah. Ia berhasil. Didaulat sebagai tokoh yang merakyat, jadilah Dedi Mulyadi sebagai Gubernur hinterland Ibukota.
Kendati telah terpilih, media sosial terus dimanfaatkannya. Didampingi juru kamera, ia terus beraksi. Terjun, membersihkan sungai dari sampah yang menyumbat. Memberi komando agar alat-alat berat memporakporandakan bangunan yang dianggap merusak lingkungan. Menggiring anak-anak yang dianggap nakal masuk barak-barak militer untuk dididik. Kalau mau bansos, vasektomi dulu. Begitu sarannya dalam rangka membendung pertambahan penduduk. Ia juga melarang study tour para pelajar ke daerah lain.Dengan media sosial, khususnya Media Sharing katakanlah Youtube, TikTok atau Instegram, sang Gubernur Konten beraksi secara visual menggunakan foto dan video. Dengan Live streaming, siaran tak perlu direkam atau diedit lebih dulu. Pokoknya, aksi dan informasi dapat disampaikan dan dicerna pada waktu itu juga.
Di balik penampilannya di media sosial itu, masyarakat bertanya-tanya berapa banyak penghasilannya sebagai youtuber ? Ternyata ia memiliki beberapa channel dengan jutaan subscriber. Ribuan video yang mengeksploatir kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan masyarakat Jawa Barat sudah ditayangkan. Video-video ini menghasilkan miliaran rupiah per bulan. Penghasilan yang perlu ditelaah oleh para Penegak Hukum apakah terbilang gratifikasi atau bukan ?
Menggunakan media arus utama, tentu saja jauh berbeda. Media cetak sudah jauh tertinggal akibat kemajuan tekhnologi komunikasi itu. Tetapi jangan dilupakan bahwa media arus utama inilah yang dikenal sebagai pilar ke-4 demokrasi. Mereka, antara lain bertugas menjadi pengemban social control. Karena setiap kekuasaan eksekutif-legislatif maupun yudikatif, cenderung melakukan penyelewengan. Menyadari hal tersebut, media arus utama tak ingin tersisih akibat kemajuan tekhnologi komunikasi. Media on line merupakan jawabannya. Karena itu, keberadaan media arus utama itu harus tetap diakui dan dihargai, tak terkecuali bagi Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat.
Tanggung jawab Gubernur
Sayang, Dedi Mulyadi terlanjur bangga dengan media sosialnya yang menghasilkan demikian banyak doku. Walau setiap penampilan menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat.Ia lupa bahwa hasil yang diperolehnya hanyalah sesaat sehingga tidak akan menyelesaikan akar masalah. Dapat dipastikan bahwa video terjun ke sungai Cipabaluan di daerah Pelabuhan Ratu Sukabumi untuk membersihkan sampah yang ditayangkan melalui media sosial tidak akan menyelesaikan masalah kebersihan itu sendiri. Begitu juga dengan memasukkan anak-anak nakal ke barak militer. Tak terkecuali dengan membongkar tempat rekreasi Habisc Fantasy di Puncak Bogor, beberapa waktu yang lalu.
Akar masalahnya harus diselesaikan dengan dialog. Mengikut sertakan seluruh pemangku kepentingan.Di antaranya media arus utama yang dapat memberikan masukan-masukan yang diperlukan.Jadi bukan hanya penyelesaian di permukaan belaka yang akan diperoleh dari media sosial dengan komunikasi satu arahnya.
Karena itu, mundur majunya media arus utama juga merupakan tanggung jawab Gubernur sebagai Kepala Daerah