KORANMANDALA.COM –Di balik lembutnya udara pegunungan Garut, ada fakta yang tak sering dibicarakan: semakin banyak remaja perempuan yang harus menjadi ibu di usia belasan tahun.
Di ruang bersalin, para bidan seperti R (inisial) menjadi saksi nyata bagaimana pernikahan dini meninggalkan luka kesehatan yang panjang bagi ibu muda dan bayi mereka.
“Kehamilan di usia muda, apalagi di bawah 20 tahun, sangat berisiko. Kami sering temui kasus anemia berat, perdarahan, bahkan komplikasi berbahaya seperti preeklampsia,” ujar Bidan R, yang sehari-hari bertugas di Wilayah Kabupaten Garut.
Risiko Kesehatan yang Mengintai Ibu Muda
Secara medis, tubuh remaja belum sepenuhnya siap untuk menghadapi kehamilan dan persalinan. Kondisi rahim yang belum matang, tekanan darah yang tidak stabil, serta cadangan zat besi yang rendah membuat ibu muda jauh lebih rentan terhadap berbagai komplikasi.
“Anemia pada ibu muda bisa menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah atau bahkan kematian saat melahirkan. Ini bukan hal sepele,” tegas R.
Selain risiko fisik, aspek psikologis juga tak kalah berat. Ibu muda yang belum siap secara mental sering mengalami stres, depresi pascamelahirkan, hingga trauma berkepanjangan.
Tekanan ekonomi dan tanggung jawab rumah tangga yang datang terlalu cepat kerap memperparah kondisi mereka.
Dampak Jangka Panjang bagi Generasi Selanjutnya
Masalah kesehatan akibat pernikahan dini tak berhenti pada masa persalinan saja. Bayi yang lahir dari ibu berusia muda memiliki risiko lebih tinggi mengalami stunting, gangguan perkembangan, dan daya tahan tubuh lemah.
Kondisi ini menjadi rantai panjang yang sulit diputus antara kesehatan ibu yang buruk, bayi yang rentan sakit, hingga generasi yang tumbuh tanpa kesiapan optimal.
Peran Bidan di Garis Terdepan
Dalam menghadapi persoalan ini, bidan menjadi garda terdepan. Mereka tidak hanya membantu proses persalinan, tapi juga berperan sebagai pendidik dan pelindung kesehatan remaja perempuan.
“Kami terus memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan risiko pernikahan dini kepada remaja dan orang tua. Setelah sosialisasi dilakukan, kasus kehamilan remaja di wilayah kami menurun,” jelas Bidan R.
Edukasi ini biasanya dilakukan melalui kelas remaja, penyuluhan di sekolah, dan program bimbingan calon pengantin. Tujuannya satu: menanamkan kesadaran bahwa menunda pernikahan bukan berarti menolak takdir, tapi menyelamatkan kesehatan.
Harapan untuk Generasi Muda Garut
Bidan R menegaskan, kesehatan reproduksi harus menjadi prioritas sebelum mengambil keputusan besar seperti menikah.
“Kami ingin para remaja Garut paham bahwa tubuh mereka butuh waktu untuk matang. Nikah muda bukan solusi, justru bisa jadi awal dari masalah kesehatan serius.”
Ia juga berharap masyarakat, terutama para orang tua, mendukung langkah ini dengan tidak memaksakan anak menikah di usia belia. Pendidikan dan kesehatan, menurutnya, adalah bekal terbaik sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.
Menunda pernikahan berarti memberi kesempatan bagi tubuh, pikiran, dan masa depan untuk tumbuh sempurna.
Di tangan para tenaga kesehatan, kesadaran ini terus ditanamkan agar Garut tak lagi menjadi saksi lahirnya generasi yang tumbuh terlalu cepat.






