KoranMandala.com –Bandung yang dulu dikenal sebagai kota sejuk dengan jalan-jalan rindang kini berubah menjadi kota yang sesak oleh kendaraan.
Setiap jam sibuk, deru knalpot, deretan motor yang merayap, hingga mobil-mobil yang saling berebut jalur sudah menjadi pemandangan harian.
Data resmi dari Katadata menunjukkan potret kelam itu jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung per April 2025 telah menembus 2,39 juta unit. Dari angka tersebut, 1,81 juta unit adalah sepeda motor, sementara mobil penumpang tercatat hampir 479 ribu unit.
Lipsus : Bandung Jadi Kota Termacet, Cermin Gagalnya Tata Kelola Transportasi
Bandingkan dengan data BPS tahun 2024, ketika jumlah kendaraan baru 1,54 juta unit. Artinya, hanya dalam setahun, pertumbuhan kendaraan naik lebih dari 55 persen sebuah lonjakan yang nyaris tak masuk akal.
Namun yang lebih memprihatinkan, kenaikan tajam ini tidak diimbangi dengan strategi transportasi yang visioner. Ruas jalan yang ada di Bandung sudah tidak mungkin lagi diperlebar, sementara pertumbuhan kendaraan terus dibiarkan tanpa pembatasan.
Kondisi ini menjadikan Bandung sebagai kota yang kian sulit bernafas di tengah arus lalu lintasnya sendiri.
Pengakuan dari Dinas Perhubungan
Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung, Rasdian Setiadi, tak menampik kenyataan pahit tersebut. “Jumlah penduduk di Kota Bandung itu tiga banding dua. Kalau satu keluarga terdiri dari tiga orang, rata-rata punya dua kendaraan. Jadi kendaraan pribadi lebih banyak dibanding transportasi umum,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPRD Kota Bandung, akhir September 2025.
Rasdian juga mengakui, memperlebar jalan bukan lagi opsi yang realistis. Dengan tata ruang yang sudah padat, pilihan untuk menambah kapasitas jalan hampir mustahil. “Kita hanya bisa mengelola yang ada,” katanya. Tapi mengelola yang ada pun tak pernah benar-benar tuntas.
Lipsus: Prostitusi Online di Bandung Antara Apartemen, Aplikasi, dan Celah Hukum
Janji Modernisasi yang Tak Pernah Datang

Beberapa kali Pemkot Bandung melontarkan wacana modernisasi angkutan kota dari konsep “angkot pintar” berbasis pembayaran digital hingga rencana menghadirkan kendaraan listrik.
Namun, semua itu masih sebatas janji. Sementara itu, warga Bandung tetap mengandalkan Trans Metro Bandung yang jumlah armadanya terbatas dan belum mampu menjadi tulang punggung transportasi massal.
Di atas kertas, Bandung memang berusaha merancang solusi. Tetapi, di lapangan, warga masih terjebak dalam situasi yang sama: macet di mana-mana.
Kota Termacet, Bukan Sekadar Julukan
Predikat Bandung sebagai salah satu kota termacet di Indonesia bukanlah mitos. Dari laporan kinerja Dishub 2024, tercatat 36 dari 115 ruas jalan utama masuk kategori macet berat. Hampir sepertiga jalan di Bandung berada pada Level of Service (LoS) D dan E—kategori yang menunjukkan arus lalu lintas padat hingga nyaris terhenti.
Padahal, Perda No. 16 Tahun 2012 dengan jelas menegaskan bahwa lalu lintas harus diwujudkan “lancar dan terkendali.”
Lebih jauh, data Indikator Kinerja Utama (IKU) Dishub 2024 memperlihatkan lemahnya ambisi Pemkot. Target rasio pengguna transportasi umum dibanding kendaraan pribadi ditetapkan pada angka 1 : 3.601. Artinya, setiap 3.600 warga pengguna kendaraan pribadi, hanya ada 1 warga yang diharapkan menggunakan transportasi umum.
Target lain, cakupan layanan angkutan umum, bahkan hanya dipatok 36,58 persen. Dengan standar serendah ini, Pemkot sebenarnya sudah sejak awal tidak menempatkan transportasi publik sebagai solusi.
Kritik: Macet yang Didesain Sendiri

Anggota DPRD Kota BAndung Andri Rusmana, menilai Pemkot Bandung gagal membangun visi transportasi jangka panjang.
“Kalau jumlah kendaraan tidak dibatasi, berapa pun flyover dan underpass yang dibangun, hasilnya akan sama: macet lagi. Pemkot harus berani membuat kebijakan tegas, tidak hanya sekadar membangun proyek,” ujarnya.
Andri menyebut, Bandung membutuhkan sistem transportasi massal yang terintegrasi, bukan sekadar kosmetik jalan. Ia bahkan mengusulkan pembangunan monorel dari kawasan timur menuju pusat kota sebagai solusi jangka panjang.
“Selama transportasi publik tidak mampu membuat orang meninggalkan kendaraan pribadinya, Bandung akan terus jadi kota macet,” katanya.
Hari ini, wajah Bandung adalah wajah kota kreatif yang terkunci oleh kendaraan. Pertumbuhan kendaraan pribadi dibiarkan liar, kapasitas jalan stagnan, dan transportasi publik tak kunjung jadi pilihan utama. Hasilnya adalah kemacetan yang bukan sekadar kebetulan, melainkan kemacetan by design.
Selama pemerintah kota lebih sibuk membangun proyek fisik ketimbang merancang kebijakan transportasi publik yang berani, warga Bandung harus bersiap: jam demi jam akan terus habis di jalan.
Dan Bandung yang dulu dikenal dengan pesona jalan-jalan indahnya akan semakin identik dengan satu kata: macet.






