KoranMandala.com –Predikat sebagai kota termacet di Indonesia yang disematkan pada Kota Bandung oleh TomTom Traffic Index 2025 bukan sekadar angka statistik. Ia adalah cermin dari gagalnya tata kelola transportasi dan perencanaan kota yang dilakukan pemerintah selama ini.
Menurut laporan TomTom, rata-rata kecepatan kendaraan di Bandung hanya 18 km/jam, jauh dari standar ideal perkotaan yang seharusnya 40–50 km/jam. Artinya, perjalanan sejauh 10 kilometer bisa memakan waktu lebih dari 50 menit.
Dosen Teknik Sipil Itenas, Andrean Maulana, S.T., M.T., menyebut Bandung sebagai kota dengan “paket lengkap” penyebab macet. Pada hari kerja, kota dipadati aktivitas niaga, sekolah, dan perkantoran. Saat akhir pekan, wisatawan dari berbagai daerah menyerbu pusat-pusat hiburan dan kuliner.
Lipsus: Prostitusi Online di Bandung Antara Apartemen, Aplikasi, dan Celah Hukum
“Weekday ramai, weekend makin ramai. Jadi macet di Bandung itu permanen. Positif karena ekonomi jalan, tapi negatif karena tata kelola mobilitas tidak mampu mengimbangi,” ujar Andrean.
Infrastruktur Jalan Mandek, Kendaraan Pribadi Meledak
Dalam tiga tahun terakhir, pembangunan jalan di Bandung nyaris stagnan, hanya sebatas rehabilitasi ringan. Di sisi lain, pertumbuhan kendaraan pribadi melonjak drastis.
Data Dinas Perhubungan Jawa Barat mencatat, sejak 2021 hingga 2025, penggunaan transportasi publik terus merosot bahkan kini di bawah 10 persen. Artinya, hampir semua warga Bandung memilih kendaraan pribadi karena angkutan umum tidak lagi bisa diandalkan.
“Ini alarm serius. Kalau angkutan umum tidak dibenahi, macet Bandung akan jadi bom waktu,” kata Andrean.
Kebijakan transportasi publik di Bandung dinilai inkonsisten. Program Trans Metro Bandung (TMB), integrasi angkot, hingga bus sekolah belum dijalankan optimal. Frekuensi kedatangan armada tidak teratur, rute tidak efisien, dan koordinasi dengan daerah sekitar nyaris tidak ada.
“Bagaimana orang mau naik angkutan umum kalau jadwalnya tidak jelas, armadanya terbatas, dan waktu tunggunya lebih lama daripada naik kendaraan pribadi?” kritik Andrean.
Kesalahan lain pemerintah, menurut Andrean, adalah melihat Bandung sebagai entitas tunggal. Padahal, kota ini berada di wilayah cekungan yang terhubung dengan Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Cimahi, dan Sumedang.
“Bandung itu pusat pergerakan, tapi tidak pernah serius bersinergi dengan daerah sekitarnya. Padahal tanpa koordinasi lintas daerah, solusi transportasi mustahil berhasil,” ujarnya.
Andrean menilai solusi cepat yang realistis bukanlah proyek infrastruktur besar, melainkan penegakan hukum transportasi. Mulai dari disiplin marka jalan, pengaturan jam sekolah dan perkantoran, hingga revitalisasi angkot yang masih digemari sebagian masyarakat.
“Kalau mau prioritas, pertama peraturan dan penegakan hukum, kedua perilaku masyarakat, ketiga armada, terakhir baru infrastruktur. Jangan kebalik,” tegasnya.
Predikat kota termacet harusnya jadi alarm bagi pemerintah. Namun, jika hanya dianggap sekadar statistik, maka beban sosial-ekonomi akibat kemacetan akan terus membengkak: pemborosan BBM, waktu produktif hilang, hingga kualitas udara memburuk.
“Kalau dibiarkan, Bandung akan semakin tidak layak huni. Data TomTom harus dibaca sebagai peringatan keras, bukan sekadar bahan debat,” pungkas Andrean.