Namun, ia juga menyadari bahwa hanya mengandalkan barang bernilai ekonomi tak cukup. Sampah organik, khususnya sisa makanan yang mencapai 70% dari total komposisi, harus dikelola secara khusus agar tak menumpuk dan mencemari lingkungan.
“Kita perlu sistem yang mendukung pemilahan di rumah. Setelah itu, infrastruktur pengangkutan juga harus menyesuaikan. Misalnya, dalam seminggu, 4–5 hari truk mengangkut sampah makanan, sisanya sampah anorganik yang bisa didaur ulang,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa tidak perlu truk baru, namun yang ada perlu dijadwalkan dan disesuaikan dengan sistem pemilahan. Komposisi tiga jenis sampah yang mudah terurai, yang bisa didaur ulang, dan yang harus diurug bisa dikelola lebih efisien jika sudah terpilah sejak awal.
Pentingnya pembiayaan dalam sistem pengelolaan sampah modern, terutama jika ingin menggunakan teknologi berbiaya tinggi seperti sanitary landfill atau insinerator dengan alat pengendali emisi.
“Siapa yang harus bertanggung jawab? Ya pemerintah dan kita sebagai penghasil sampah. Kalau tidak mampu mengelola mandiri, ya harus bayar. Karena saat kita buang sampah sembarangan, sebenarnya kita sedang mencemari lingkungan,” ujarnya.
Pengelolaan sampah di Kota Bandung kata dia, tidak cukup hanya dengan program yang bersifat simbolik atau parsial. Diperlukan pendekatan sistemik yang mencakup edukasi warga, investasi teknologi tepat guna, dan reformasi sistem pengangkutan serta pembiayaan yang berkeadilan.