KoranMandala.com – Setiap hari, sekitar 1.500 ton sampah diproduksi oleh warga Kota Bandung. Angka ini setara dengan berat 300 gajah dewasa, atau lebih dari 140 truk penuh yang harus diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti setiap 24 jam. Persoalan sampah di Bandung bukan hal baru. Yang baru adalah betapa beragamnya teknologi dan pendekatan yang sebenarnya sudah siap untuk digunakan. Lalu, kenapa masalah sampah tetap menjadi beban menahun?

    Dua diskusi Zoom yang digelar pada 25 dan 26 Juli 2025 lalu, dengan menghadirkan akademisi, inovator, pengembang dan praktisi pengelolaan sampah, mencoba menjawab pertanyaan ini. Di sinilah tampak jelas bahwa permasalahan utama bukan pada semata- mata teknologi, melainkan pada sistem, tata kelola, pendanaan dan political will kepala daerah.

    Krisis Sampah di Bandung: Farhan Akui Tak Ada Solusi Baru, Walhi Jabar Angkat Bicara

    Solusi-Solusi yang Sudah Ada dan Siap Jalan

    Prof. Harun Al Rasyid Lubis , akademisi sekaligus moderator diskusi, menyebutkan bahwa berbagai teknologi pengolahan sampah dapat menghasilkan produk antara dan akhir yang bernilai ekonomi antara lain berupa :
    1. Pupuk Kering / media Tanaman. ( Bottom Ash)
    2. Bahan baku industri Batako ( Bottom Ash )
    3. Bahan baku industri Semen ( Fly Ash )
    4. RDF sebagai alternatif pengganti sebagian / cofiring batubara.
    5. BBM solar, Mitan dll.
    6. Maggot ( Pakan Ternak )
    7. Energi listrik ( Pemanfaatan Exhaust gas )
    8. ⁠Residu lain yg bisa di recycle

    Secara nasional sudah disadari krisis kelola sampah solusinya masih jauh dari optimal. Khusus Kota Bandung punya catatan sejarah dan citra negatif tersendiri. Bagaimana tidak kota tempat berkumpulnya para intelektuil, innovator teknologi urusan sampah, juga macet , banjir menjadi sorotan warga bahkan dunia tak henti-henti. Sebetulnya dari sisi pengalaman kelembagaan, Bandung sudah memiliki semua amunisi yang dibutuhkan untuk menuntaskan masalah sampah ini

    Contohnya AWS, teknologi tungku karya Pak Jelamprong (atau Pak Kartiko), telah bersertifikat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), PUPR terpasang di 70 titik, dan diakui manca negara di Jepang serta Filipina. Teknologi ini mampu menghasilkan RDF dan listrik, cocok untuk diterapkan di sistem pengelolaan terdesentralisasi. Tahun ini saja, proyek AWS sudah berjalan di Dumai, Lombok Barat, Medan, Tanjungbalai, dan Kupang. Bila ada keluhan tentang keandalan atau pun kekurangan tentang teknologi ini, end user tinggal lapor kepada pengembang untuk diselesaikan dan teknologi disempurnakan.

    Teknologi yang menjanjikan adalah sistem Peuyeumisasi misalnya , yang ditawarkan oleh Pak Sony dengan pengalamannya, sangat cocok untuk mengolah sampah antara menjadi ragam produk antara yang sangat bermanfaat bagi industri pertanian, dll. Juga teknologi olah ‘’Masaro” Pak Zainal dosen ITB sudah mulai di adopsi di beberapa lokasi di tanah air. Bisa jadi ada teknologi-teknolgi lainnya , start up yang lahir dari karya warga Bandung sendiri.

    Kalau saja, misal, perpaduan berbagai rantai teknologi olah sampah ini bisa di-hybrid-kan , dan fokus kepada salah satu produk utama semisal RDF saja dengan off- taker dua pabrik tekstil yang ada di Bandung yang membutuhkan 5000 ton RDF per bulan. Ini sudah siap menyerap hingga 500 ton RDF setara dengan olah 1.000-1.200 ton sampah basah per hari ( produksi sampah Bandung 1500 ton per hari). Artinya, dalam 10 hari olah sampah kota Bandung sudah mencukupi untuk pasokan pabrik tertentu/ tekstil. Belum lagi pabrik-pabrik lainnya. Asalkan, kualitas RDF terjamin sesuai kebutuhan spesifikasi industri. Singkat cerita hampir semua pabrik sekitar Bandung bisa manyerap sebagian besar RDF dari olah sampah !

    Namun sampai kini rantai pergerakan angkut sampah dari rumah tangga, pasar , warung , restoran dlsb. masih problematis. Ini harus tertata dan diamankan alias ditata di atur dengan regulasi ketat oleh Kepala Daerah setempat.

    Misal dari sisi komunitas, Pak Slamet praktisi sampah sudah menawarkan pendekatan dari hulu berbasis kelurahan berbasis digital, yang bisa terus disempurnakan skalanya. Dengan contoh misal 10.000 Kepala Keluarga (KK) menghasilkan 20 ton sampah per hari dan iuran Rp 30.000/KK/bulan, ( rata-rata warga Bandung membayar Rp 70 ribu ke jasa angkut), sebuah kelurahan bisa memiliki dana operasional Rp 300 juta per bulan. Jumlah ini cukup untuk memperkerjakan 40 orang petugas dan menjalankan sistem secara mandiri, seperti yang sudah diterapkan misal di Jati Asih, Bekasi.

    Masih banyak lagi solusi dan teknologi lain dari para startup Poltek dan ITB yang masih perlu mengeram, bisa diberdayakan oleh Pemkot, seperti insinerator hidrogen yang digadang Pak Iwan Harianton, Cs. lewat koperasi multi pihak, yang konon menggunakan air sebagai bahan bakar, hingga desain teknologi lokal oleh Polman Bandung dan alumni2 ITB juga tengah berjalan, bisa turut diuji bukti konsep dan nilai tambah.

     

    Sampah Menggunung di Pasar Gegerkalong, Warga dan Pedagang Mengeluh
    Sampah Menggunung di Pasar Gegerkalong, Warga dan Pedagang Mengeluh

    Mengapa Ragam Solusi Ini Tidak Diadopsi Pemkot Bandung?

    Meski solusi sudah ada, penerapannya terbentur tembok yang lebih besar: tata kelola dan resistensi sistemik. Dalam diskusi, Prof. Harun mempertanyakan, “Jika semua hal teknis sudah tersedia—modal, teknologi, koperasi, dan komunitas—mengapa program-program ini tidak berjalan?”

    Jawabannya adalah: sistem birokrasi yang tak mau berubah, konflik kepentingan, dan dominasi aktor informal.

    Pak Sony menyoroti bagaimana proyek RDF di Arcamanik yang sempat berjalan hanya beberapa bulan, lalu dihentikan karena ‘truk pengangkut ke TPA tidak dipakai’. Artinya, ada sistem yang justru keberatan jika sampah diolah secara mandiri. Apakah karena ada pihak yang diuntungkan oleh status quo? Apakah pengelolaan sampah saat ini telah menjadi “lahan basah” bagi sebagian pihak?

    Bahkan dalam proyek-proyek yang berjalan, seperti di Bali, pabrik RDF harus membongkar TPA lama untuk mendapat pasokan sampah karena suplai dari kelurahan tidak konsisten.

    Faktor Penghambat: Premanisme, Resistensi, dan Lemahnya Political Will Kepala Daerah.

    Satu hal yang berulang kali disebut adalah adanya ‘aktor informal’ alias premanisme dalam sistem pengangkutan dan pengelolaan sampah. Dalam konteks ini, ‘preman’ tidak selalu berarti kekerasan fisik, melainkan pihak-pihak yang secara informal mengendalikan alur sampah untuk keuntungan pribadi atau kelompok, alias melanggengkan kebiasaan yang dari dulu. Ini perlu rekayasa sosial alih profesi, alias bagaimana praktek ini bisa dijinakkan agar oknum tak kehilangan ‘nafkah’.

    Menurut Prof. Harun, ini bukan masalah teknis, tapi masalah sistemik yang membutuhkan intervensi politik dan keberanian institusional. “Kita punya teknologi, punya koperasi, punya pasar off taker yang menyerap produk antara dan akhir olah sampah. Tapi selama sistem tidak dibersihkan, tidak akan jalan,” ujarnya.

    Pendekatan P4 (Public, Private, People, Partnership) yang inklusif dan kolaboratif bisa menjadi solusi. Perlu duduk bareng merumuskan secara rinci skema dan model bisnis, dan regulasi dan penegakan hukum, “polluters pay principle” . Namun, tanpa political will dari kepala daerah dan perangkat-berangkat dinasnya , pendekatan ini hanya akan menjadi wacana. Budaya baik kelola sampah yang pernah berlangsung pada masa kepala daerah lama perlu diadopsi kembali kalau memang baik.

    Sampah Menumpuk di Kolong Flyover Ciroyom, Bau Busuk Cemari Jalan Layang Baru
    Sampah Menumpuk di Kolong Flyover Ciroyom, Bau Busuk Cemari Jalan Layang Baru

    Institusi Pendidikan dan Pemerintah Harus Jadi Contoh

    Salah satu usulan menarik datang dari Pak Sony. Ia menantang institusi pendidikan seperti ITB, Unpad, serta lembaga negara, BUMN dan BUMD, untuk tidak lagi membuang sampah ke luar. “Kita tagih komitmen kampus. Kalau kampus tidak bisa mengolah sampahnya sendiri, lalu siapa lagi?”

    Jika satu kampus bisa mengelola sampah 1 ton per hari, dan model ini diterapkan di 20 institusi besar, maka 20 ton sudah tertangani setiap hari. Begitu juga jika rumah sakit dan kantor-kantor pemerintahan menerapkan model RDF atau komposting mandiri.

    Jalan ke Depan: Sinergi Teknologi, Komunitas, dan Regulasi

    Dari dua hari diskusi, muncul beberapa kesimpulan penting:

    1. Teknologi Bukan Masalah: Bandung tidak kekurangan teknologi. Mulai dari skala besar hingga rumahan, dari lokal hingga luar negeri, semuanya tersedia dan terbukti bekerja.

    2. Off-taker Harus Dipastikan: Produk hasil olahan seperti RDF, kompos, atau energi harus punya pasar yang pasti. Untuk RDF, industri tekstil, PLTU, dan smelter adalah mitra potensial.

    3. Pendekatan Terdesentralisasi Efektif: Model kelurahan berbasis komunitas, seperti yang ditawarkan Pak Slamet, lebih fleksibel, cepat, dan partisipatif.

    4. Koperasi dan Digitalisasi Penting: Pengelolaan dana dan operasional melalui koperasi serta sistem keuangan digital berbasis e-wallet memastikan transparansi dan akuntabilitas.

    5. Hambatan Sistemik Harus Disingkirkan: Jika pemerintah serius, maka perlu dibuat regulasi baru, skema insentif, dan pilot project resmi yang dilindungi hukum dan bebas dari intervensi informal.

    6. Pendidikan dan Pemerintah sebagai Role Model: Jika kampus dan kantor-kantor negara bisa mengelola sampah mandiri, kepercayaan publik akan meningkat dan adopsi massal bisa lebih cepat.

    7. Skema investasi dan model bisnis dapat disesuaikan dengan produk antara dan produk akhir teknologi sampah. Teknologi yang sudah proven ( skala kecil menengah) bisa ditender/ kompetisi kan. Kalau belum proven dapat dipayungi dengan regulasi sandboxing untuk bukti konsep dan nilai tambah ( PoC & PoV), proof of concept & proof of value )

    Saatnya Bertindak

    Masalah sampah di Bandung bukan karena kita kekurangan ide, teknologi, atau dana. Masalahnya adalah keberanian dan kemauan untuk mengubah kebiasaan lama.

    Jika kita terus menunggu sistem yang sempurna, kota ini akan tenggelam oleh sampahnya sendiri. Padahal, seperti kata Prof. Harun, “Solusinya sudah ada—tinggal kita mau atau tidak.”

    Pertanyaannya sekarang adalah: apakah Walikota Kota Bandung Muhammad Farhan siap meninggalkan cara lama dan merangkul solusi baru yang sudah siap diadopsi dan tersedia di depan mata?

    Jika jawabannya ya, maka Bandung bisa jadi kota pertama di Indonesia yang sukses menaklukkan krisis sampah—dengan kekuatan teknologi, komunitas, dan kemauan politik yang kuat.

    Jika keresahan para akademisi dan innovator dianggap angin lallu, siapa yang jadi acuan Walikota Bandung dalam mengatasi masalah sampah? Masihkah warga Bandung punya harapan bisa bebas dari belitan masalah sampah?

    Listen to this article

    Menyajikan berita dan konten-konten yang menarik tapi berkualitas dengan bahasa yang lugas. Menuju Indonesia lebih baik.

    Comments are closed.