“Sekitar 70 persen sampah di Kota Bandung adalah sampah organik, yang tidak bisa diolah dengan insinerator atau teknologi berbasis pembakaran lainnya,” ujarnya.
Fictor menyebutkan bahwa saat krisis sampah pada 2023 lalu, telah ada risalah hasil rapat antara Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung yang menyepakati pembatasan ritase dan larangan sampah organik masuk ke TPA Sarimukti. Artinya, sekitar 700 ton sampah organik per hari seharusnya dikelola secara mandiri di tingkat kota dan masyarakat.
Menurut dia, pengelolaan sampah organik merupakan solusi paling mudah, murah, dan terjangkau. Teknologi seperti pengomposan dan budidaya maggot seharusnya bisa dijalankan secara luas, namun belum dilakukan secara serius oleh pemerintah.
“Banyak rumah maggot dibangun, tapi tidak bisa menutupi jumlah sampah yang ada. Pemilahan sampah pun masih menjadi masalah utama, padahal sejak 2017 program Kang Pisman sudah dimaksudkan untuk itu,” katanya.
Fictor juga mengkritik ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan kebijakan. Meski telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) soal pengelolaan sampah, implementasinya dianggap sporadis dan tanpa pengawasan yang ketat.
“Pemerintah selalu mengeluhkan masyarakat belum sadar, tapi tidak ada sistem dan langkah nyata untuk membangun kesadaran itu. Pemerintah terlalu fokus pada hilir, sementara persoalan hulunya diabaikan,” tambahnya.
Dia menilai bahwa pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan krisis ini tanpa melibatkan sektor swasta. Restoran dan hotel harus diwajibkan mengelola sampah organiknya sendiri, agar pemerintah bisa fokus pada pengelolaan sampah rumah tangga.
Teknologi pun, kata Fictor, tidak bisa diterapkan secara merata di Bandung yang memiliki banyak wilayah padat penduduk. Oleh karena itu, pendekatan berbasis komunitas dan lingkungan menjadi lebih relevan.
Kondisi ini mencerminkan perlunya perubahan strategi dalam manajemen sampah di Kota Bandung. Tanpa roadmap jangka panjang, partisipasi lintas sektor, serta konsistensi kebijakan, krisis sampah diprediksi akan terus berlangsung dan semakin membebani kota di masa mendatang.***