KoranMandala.com – Kota Bandung berada di ambang krisis lingkungan. Tumpukan sampah menggunung di berbagai titik terungkap silih berganti, bau menyengat menyelimuti permukiman warga, dan kekecewaan publik meningkat. Ironisnya, Pemerintah Kota Bandung justru tetap mempertahankan Kangpisman – konsep yang sebelumnya gagal menyelesaikan akar persoalan sampah kota kembang. Di bawah kepemimpinan Wali Kota baru, Muhammad Farhan, retorika lama didaur ulang, sementara realitas di lapangan menunjukkan ketidakseriusan dalam menuntaskan masalah sampah.
Janji Lama yang Didaur Ulang
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung, Darmanto, menyatakan program Kangpisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan) masih relevan sebagai strategi penanganan sampah. Namun publik mempertanyakan, mengapa kembali pada formula yang sudah terbukti gagal? Kangpisman memang ideal di atas kertas, tapi lemah di penerapan. Tidak ada mekanisme kuat dalam pengawasan, infrastruktur daur ulang minim, serta partisipasi masyarakat yang rendah akibat kurangnya edukasi berkelanjutan.
Program Kangpisman Gagal di TPS Dago Elos, Warga: Perhatian Pemerintah Kurang
Pasar Suci: Potret Gagal dari Hulu
Pasar Suci menjadi contoh nyata kegagalan pengelolaan sampah di hulu. Penataan yang lambat dan tidak tuntas menyebabkan kawasan ini menjadi TPS liar. Infrastruktur seperti tempat sampah terpilah, sistem angkut-terjadwal, hingga petugas pengawas tidak tersedia secara memadai. Hasilnya, sampah rumah tangga, limbah pasar, dan limbah industri kecil menumpuk dan menjadi sumber penyakit. Penanganan setengah hati Pemkot memperparah krisis ini.
Gegerkalong: Bebas Buang Sampah Tanpa Kontrol
Di kawasan Pasar Gegerkalong, kondisi tak jauh berbeda. Warga dari luar bebas membuang sampah karena tidak ada sistem sortir, identifikasi, maupun pengawasan di pintu masuk. Pedagang pasar mengeluhkan bau menyengat, gangguan lalat, dan ancaman kesehatan. Minimnya kontrol membuat kawasan ini menjadi tempat pelimpahan sampah dari berbagai penjuru tanpa solusi nyata.
Krisis Sistemik yang Tak Diatasi
Wali Kota dan Wakilnya memang turun langsung ke lapangan. Namun hingga hari ke-100 pemerintahannya, belum ada perubahan sistemik. TPS-TPS ditutup sepihak seperti di kawasan Bumi Asri tanpa alternatif yang disiapkan. Akibatnya, warga membuang sampah sembarangan. Pemerintah hanya bersikap reaktif—menyegel TPS atau mengusir pembuang sampah ilegal—tanpa menyentuh akar persoalan.
Antara Rencana dan Realita
APBD 2025 telah mengalokasikan dana untuk pembangunan insinerator dan sistem integrasi data pengelolaan sampah. Namun hingga pertengahan Juli 2025, belum ada eksekusi. Ketiadaan rencana membangun satu tempat pengolahan sampah yang mampu menangani 1.500 ton sampah kota jadi bukti Pemkot Bandung hanya memikirkan solusi parsial.
Penanganan sampah per wilayah dengan beraneka metode (Isenearator, RDF, Biodegester, Mesin Pencacah dll.) yang di-endorse partai politik atau kelompok tertentu menguatkan dugaan bahwa penentuan metode pengolahan sampah jadi alat bagi-bagi jatah proyek.
Janji tinggal janji, dan masyarakat terus menjadi korban ketidaksiapan pemerintah. Infrastruktur dasar tak dibenahi, edukasi tak berlanjut, dan pengawasan longgar.
Minimnya partisipasi warga menjadi masalah klasik yang tidak kunjung diatasi. Program Kangpisman hanya disosialisasikan secara seremonial tanpa strategi jangka panjang. Pendekatan represif seperti penyegelan TPS atau razia pembuang sampah tidak dibarengi dengan edukasi dan solusi jangka panjang. Koordinasi antardinas pun lemah, banyak program tumpang tindih tanpa pemimpin proyek yang jelas.
Kepemimpinan Syarat Bandung Bersih
Masalah sampah bukan sekadar urusan teknis atau jumlah volume yang harus diangkut. Ini adalah cerminan kualitas kepemimpinan, integritas kebijakan, dan keberanian mengeksekusi perubahan. Program seperti Kangpisman tidak salah dalam niatnya, tapi gagal dalam implementasinya. Mengulang tanpa evaluasi hanya akan memperpanjang penderitaan warga.
Pemerintah Kota Bandung harus berhenti menambal kebocoran dan mulai membangun sistem yang kuat, terukur, dan partisipatif. Masyarakat butuh kepemimpinan yang visioner, bukan sekadar responsif dan seremonial.
Bandung layak bebas dari darurat sampah—bukan karena slogan, tetapi karena keberanian membuat perubahan nyata.