Koran Mandala – Air, dalam kosmologi masyarakat Sunda, adalah sumber kehidupan yang sakral. Tak heran bila banyak nama tempat di Tanah Pasundan diawali dengan kata “Ci”—singkatan dari “Cai” yang berarti air—seperti Cikapundung, Citarum, Cisadane, dan Cimahi. Keberadaan sungai bukan sekadar jalur air, melainkan urat nadi peradaban. Di masa lalu, sungai menjadi sarana transportasi utama. Dayeuh Kolot, misalnya, dulunya adalah simpul penting transportasi sungai sebelum pusat pemerintahan dipindahkan ke Kota Bandung yang sekarang oleh pemerintah kolonial setelah dibangunnya jalur kereta api.
Namun, hari ini, Sungai Citarum menghadirkan wajah yang muram. Dari hulu di Kabupaten Bandung hingga ke hilir di Pantai Utara Jawa Barat, sungai ini seolah mewarisi luka dari setiap tapak pembangunan yang tak berwawasan. Saat musim kemarau, Citarum mengering seperti ladang tandus. Saat musim hujan, ia meluap, menghantam pemukiman dengan banjir yang merusak.
Program Citarum Harum yang dicanangkan sebagai solusi komprehensif penanggulangan kerusakan ekosistem sungai ternyata jauh dari harapan. Menghabiskan dana triliunan rupiah, program ini lebih banyak diwarnai seremoni, rapat, dan spanduk daripada kerja teknis yang berdampak nyata. Limbah rumah tangga, limbah industri, hingga sedimentasi yang menumpuk terus menghantui sungai. Data menunjukkan bahwa ribuan pabrik di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum masih membuang limbah secara ilegal atau setengah olahan.
Ironi terbesar terletak pada prioritas kebijakan. Di saat kawasan resapan air seperti Rancaekek, Gedebage, dan Bojongsoang berubah fungsi menjadi pabrik dan perumahan secara masif dan ugal-ugalan, pemerintah justru memilih membangun danau retensi buatan dengan biaya fantastis. Bukankah akan lebih bijak dan murah menjaga lahan sawah dan kolam abadi sebagai kawasan resapan air? Kompensasi untuk petani bisa jauh lebih hemat ketimbang membangun pompa air raksasa yang butuh perawatan mahal dan sering tak berfungsi optimal.

Citarum adalah ekosistem hidup yang menopang belasan juta jiwa di delapan kabupaten/kota utama di Jawa Barat. Sungai ini menyuplai air minum, irigasi pertanian, dan menjadi tulang punggung ekonomi kawasan. Ketika sungai rusak, maka hancurlah ketahanan air, pangan, dan energi masyarakatnya.
Solusi untuk Citarum tak bisa berhenti pada retorika atau kampanye sesaat. Dibutuhkan rekayasa (engineering) teknis yang serius, terencana, dan berwawasan jangka panjang. Pengendalian kawasan hulu, penegakan hukum atas pelanggaran lingkungan, revitalisasi lahan basah, serta partisipasi masyarakat harus berjalan bersama. Tanpa itu, Citarum hanya akan menjadi proyek musiman penuh anggaran, tapi minim perubahan.
Mimpi masa depan Citarum adalah mimpi akan sungai yang kembali bersih, mengalirkan kehidupan, dan menjadi bagian dari identitas kebanggaan warga Jawa Barat. Kita tak perlu menunggu kehancuran total untuk mulai berubah. Citarum adalah cermin: apakah kita memilih jalan keberlanjutan, atau tetap terjebak dalam pusaran kesalahan yang sama.