KORANMANDALA.COM – DPR RI secara resmi mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan.
Pengesahan ini disebut sebagai langkah pembaruan hukum acara pidana yang selama puluhan tahun masih mengacu pada KUHAP warisan kolonial.
Namun, di balik momentum reformasi hukum tersebut, sejumlah praktisi hukum mengemukakan catatan kritis. Mereka menyoroti pasal yang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan tanpa persetujuan hakim dalam kondisi tertentu.
Pasal yang Disorot: Penggeledahan dan Penyitaan dalam Keadaan Mendesak
Dalam KUHAP baru, Pasal 106 ayat (4) mengatur kewenangan penyidik melakukan penggeledahan tanpa persetujuan pengadilan, sementara Pasal 112 ayat (1) dan (2) mengatur penyitaan dalam situasi serupa. Ketentuan ini membuka ruang bagi penyidik untuk bertindak cepat ketika dinilai terdapat keadaan mendesak.
Meski begitu, aturan tersebut mewajibkan penyidik untuk:
- Melaporkan tindakan tersebut kepada atasan segera setelah dilakukan, serta
- Mengajukan permohonan persetujuan ke pengadilan dalam batas waktu tertentu.
Jika pengadilan menilai tindakan tersebut tidak memenuhi prosedur, maka prosesnya dapat dibatalkan dan barang bukti harus dikembalikan kepada pemilik.
Praktisi hukum Fajar Ramadhani Amin, SH, MH, Managing Partner AMIN & Partners Law Firm, menyampaikan pandangan kritis mengenai aturan baru ini. Menurutnya, semangat memperbarui KUHAP lama patut diapresiasi, namun proses penyusunan dan pembahasannya seharusnya lebih matang.
“Saya mengapresiasi semangat memperbaiki KUHAP lama yang sudah tidak relevan. Namun sepatutnya DPR menampung keberatan masyarakat sebelum mengambil keputusan, agar aturan baru ini tidak menimbulkan konflik kepentingan dan tidak berujung pada uji materi di kemudian hari,” ujar Fajar.
Ia menilai aturan mengenai tindakan tanpa izin hakim memang dimaksudkan untuk kondisi mendesak, tetapi penilaian mengenai hal tersebut dapat bersifat subjektif.
“Ketentuan tindakan tanpa izin pengadilan dalam keadaan mendesak berpotensi menimbulkan abuse of power apabila tidak dijalankan secara profesional. Ini bisa menjadi ruang bagi tindakan sewenang-wenang jika pengawasannya lemah,” jelasnya.
Meski demikian, Fajar menegaskan bahwa masyarakat tetap memiliki mekanisme hukum untuk menguji tindakan penyidik.
“Apabila tindakan aparat tidak sesuai SOP, masyarakat dapat melaporkannya kepada atasan penyidik atau mengajukan pra-peradilan. Mekanisme ini penting untuk menjamin akuntabilitas,” tambahnya.
Undang-undang hasil revisi KUHAP ini dijadwalkan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Dengan begitu, penegak hukum, advokat, akademisi, dan masyarakat umum diimbau memahami aturan baru tersebut agar pelaksanaannya tidak merugikan hak-hak warga dan tetap menjamin proses hukum yang adil. (Sarah)






