KoranMandala.com –Fenomena prostitusi online yang marak menggunakan fasilitas hotel dan apartemen di Kota Bandung tak hanya menjadi masalah sosial, tetapi juga berimplikasi hukum.
Praktisi hukum Fajar Ramadhani Amin, Managing Partner Law Firm Amin & Partners, menegaskan bahwa pengelola hotel maupun apartemen tidak bisa lepas tangan bila terbukti membiarkan praktik tersebut.
Menurutnya, penindakan aparat memiliki dasar hukum yang jelas. “Kalau bicara KUHP, ada Pasal 296 yang melarang seseorang dengan sengaja memudahkan atau menyediakan tempat untuk perbuatan cabul. Ada juga Pasal 506 yang mengatur orang yang mengambil keuntungan dari prostitusi, yaitu mucikari atau germo,” kata Fajar saat dihubungi Tim Koranmandala.
Lipsus: Prostitusi Online di Bandung Antara Apartemen, Aplikasi, dan Celah Hukum
Fajar menegaskan, manajemen hotel atau apartemen yang mengetahui adanya aktivitas prostitusi online di lingkungannya bisa dikenai sanksi hukum. Tak hanya pidana, ancaman juga bisa berupa sanksi administratif seperti pencabutan izin usaha.
“Secara undang-undang, penindakan sah dilakukan, apalagi jika aparat berkoordinasi dengan kepolisian maupun dinas terkait. Jika terbukti melanggar, konsekuensinya bisa berat,” ujarnya.
Ia mengkritisi pola penindakan aparat yang kerap situasional dan hanya dilakukan pada momen tertentu. Padahal, praktik prostitusi di Bandung sudah berlangsung lama dan melibatkan banyak pihak.
“Kalau mau konsisten, pemerintah daerah harus tegas menegakkan perda maupun KUHP. Jangan sampai muncul kesan tebang pilih di mata masyarakat,” tegasnya.
Sebagai catatan, Pasal 296 KUHP mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda, sementara Pasal 506 KUHP mengatur bahwa pihak yang mengambil keuntungan dari prostitusi dapat dipidana kurungan paling lama satu tahun.
“Negara jelas punya payung hukum untuk menindak prostitusi online. Tinggal bagaimana aparat dan pemerintah daerah mau menegakkannya secara konsisten,” tutup Fajar.






