KoranMandala.com – Di balik suara renyah dan tawa yang khas, ada seorang seniman sepuh yang hidupnya tak pernah jauh dari panggung, kamera, dan masyarakat: R.E. Subagdja, SE, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Mang Koko. Di usia 70 tahun, lelaki kelahiran Bandung ini justru makin aktif berkarya, menghadirkan tawa dan kebijaksanaan dalam setiap lakon yang ia mainkan.
“Kalau hidup bisa ditertawakan, kenapa harus terlalu serius?” ucapnya sambil terkekeh saat ditemui di sela syuting sinetron religi di Karawang, Mei lalu.
Mang Koko bukan sekadar pelawak. Ia adalah saksi hidup dari perkembangan seni pertunjukan Sunda dari era panggung rakyat, televisi analog, hingga dunia digital saat ini. Lebih dari tiga dekade mengabdi di dunia hiburan, ia tetap rendah hati, tetap bersahaja, tetap Mang Koko yang menyapa semua orang dengan panggilan batur.
Kabar Duka, Mas Polo Sang Pelawak Legendaris Srimulat Meninggal Dunia
Tertawa Sejak 1987
Perjalanan seni Mang Koko dimulai pada akhir 1980-an. Ia mendirikan Grup Lawak MEJENG, membawa semangat tawa yang mengakar dari kebudayaan Sunda dan realitas sosial masyarakat. Di bawah bimbingan tokoh-tokoh seperti W.D. Mochtar dan Bintang Adi, ia tampil dari panggung ke panggung: lomba lawak, pasar rakyat, hingga panggung negara seperti Istana Merdeka dan Mabes TNI AD.
Pada 1989 dan 1990, ia menyabet Juara II dalam Lomba Lawak BKKBN tingkat Jakarta Timur dan DKI Jakarta. Namanya makin dikenal, tak hanya sebagai pelawak, tapi juga aktor multitalenta — dari hansip, satpam, profesor pikun, sampai guru bloon, semuanya ia mainkan dengan rasa dan hati.
Sempat Tumbang, Kembali Menyala
Setelah puluhan tahun menghibur, Mang Koko sempat “menghilang” dari layar kaca. Ia terserang stroke usai pulang syuting, dan harus menjalani pemulihan selama hampir lima tahun. Tapi seperti kata orang bijak: seniman sejati tak pernah benar-benar pensiun.
Ketika kesehatannya mulai membaik, tawanya kembali mengudara. Ia membintangi 67 episode sinetron Amanah Wali 6 di RCTI, membaur dengan aktor muda tanpa kehilangan kharisma.
“Tawa itu obat. Selama saya masih bisa membuat orang tertawa, kenapa harus berhenti?” katanya dengan mata berbinar.
Menjaga Warisan, Merawat Budaya
Mang Koko bukan hanya seniman lawak, tapi juga penjaga budaya Sunda. Ia aktif dalam berbagai produksi film karya Ki Raden Akbar, sineas lokal yang getol mengangkat sejarah dan tradisi lokal. Lewat peran-peran itu, ia menyisipkan nilai: kesederhanaan, kebersamaan, dan rasa cinta pada leluhur.
Sebagai aktor senior, ia tak merasa lebih tinggi dari siapa pun. Justru ia sering menjadi mentor senyap bagi aktor muda, memberi nasihat sederhana tapi menancap dalam: “Jangan hanya hafal dialog. Mainkan peranmu dengan jujur.”
Abah yang Dirindukan
Meski tak lagi muda, kehadiran Mang Koko di lokasi syuting selalu memberi energi. Ia menyapa rekan-rekan seperti Shanty Rohaetin (Mak Ijah) atau Ambu Sonnia seperti keluarga. Tak ada jarak antara generasi. Ia bukan hanya aktor senior, tapi ‘Abah’ yang dirindukan — tempat cerita mengalir dan nasihat hadir tanpa menggurui.
Kini, saat rambutnya memutih dan langkahnya lebih pelan, semangat Mang Koko justru terasa lebih terang. Ia telah melewati zaman Kang Ibing, Aom Kusman, dan H. Jojon — dan masih berdiri di tengah arus zaman digital yang berubah cepat. Tapi satu yang tak pernah berubah: tawanya yang menyembuhkan, kehadirannya yang menghangatkan.
Tanpa banyak bicara soal prestasi, Mang Koko telah menorehkan jejak mendalam dalam dunia hiburan Indonesia. Ia tak pernah meminta untuk diingat, tapi selalu dicintai oleh siapa pun yang pernah mengenalnya — baik di panggung, layar kaca, atau warung kopi tempat ia bercanda dengan warga.
Dan hingga hari ini, ia terus melangkah. Dengan tawa. Dengan cinta. Dengan dedikasi tanpa batas.
Mang Koko, pelawak lintas zaman yang tak pernah pensiun dari panggung kehidupan.






