Koran Mandala – Kehadiran “Colonial Debris“, karya terbaru WatchDoc Documentary, sekali lagi menegaskan posisi Dandhy Dwi Laksono dan ‘bengkel’-nya sebagai anomali di kancah perfilman Indonesia. Kalau kita bicara soal dokumenter yang benar-benar punya ‘gigi’, nama mereka memang sulit dielakkan. Di tengah industri yang seringkali memilih zona nyaman, Dandhy dan kawan-kawan konsisten menapaki jalur terjal: jurnalisme investigasi visual yang berani, lugas, dan tak pernah ragu menantang status quo.
Rekam jejak mereka berbicara lantang. Masih segar dalam ingatan bagaimana “Sexy Killers” sukses membuat elite energi ‘panas dingin’. Belum lagi “Asimetris” yang tanpa tedeng aling-aling menguliti borok industri sawit, hingga “Dirty Vote” yang meledak laksana ‘bom waktu’ jelang pemilu lalu. Deretan karya berani ini, ditambah pengakuan bergengsi sekelas Magsaysay Award, telah mengukuhkan DNA WatchDoc: berpihak pada mereka yang kerap tak bersuara, dan menjadikan kekuatan sinema sebagai megafonnya.
Kini, DNA perlawanan itu kembali mewujud dalam “Colonial Debris” (atau “Tanah Moyangku”). Ini bukan sekadar rilisan terbaru; ini adalah sebuah karya magnum yang terasa seperti puncak perenungan mereka atas salah satu borok paling kronis bangsa ini: sengketa tanah. Tapi, mari kita sejenak menepi dari urgensi isunya, dan mencoba ‘membaca’ film ini dari kacamata seorang penikmat—dan pengkritik—film. Bagaimana “Colonial Debris” berkomunikasi lewat bahasanya sendiri, bahasa sinema?
Colonial Debris: Merajut Narasi, Menghunjam Kesadaran
Sejak awal, “Colonial Debris” sudah menunjukkan kelasnya dalam bertutur. Ia tak lantas menghujani kita dengan data mentah. Sebaliknya, ia mengajak kita melakukan perjalanan waktu, membentangkan benang merah kusut dari hukum kolonial Agrarische Wet 1870 hingga praktik-praktik agraria yang—ironisnya—tak banyak berubah di era modern. Racikan gaya expository (pemaparan) dan observational (pengamatan) terasa pas. Suara narator menjadi pemandu, namun bintang sesungguhnya adalah mereka yang hidup di ‘medan perang’ agraria.
Di sinilah WatchDoc menunjukkan kepekaannya. Kamera tak hanya merekam, tapi seolah ikut merasakan. Goyangan handheld di beberapa adegan—mungkin saat mengikuti aksi massa atau menyusuri jalan setapak—berhasil menarik kita masuk, membuat kita merasa hadir di sana. Wawancara pun terasa intim. Mereka tidak mewawancarai narasumber di studio steril, melainkan di ‘habitat’ mereka: di tengah sawah yang terancam, di beranda rumah yang mungkin segera rata dengan tanah. Pilihan ini membuat setiap kata yang terucap terasa lebih berbobot, lebih otentik.
Visual dan Bunyi yang Tak Sekadar Indah, Tapi Menggugat
Secara visual, “Colonial Debris” adalah sebuah ironi yang tertata apik. Di satu sisi, mata kita dimanjakan oleh keindahan alam Indonesia yang—sayangnya—kian tergerus. Namun, keindahan itu segera dibenturkan dengan gambar-gambar ‘brutal’: raungan alat berat, hamparan sawit sejauh mata memandang yang terasa seperti padang pasir hijau, dan tentu saja, sorot mata para pejuang tanah yang menyimpan campuran lelah, marah, dan harapan.

BERITA LAINNYA

PT MANDALA DIGITAL MEDIA
Jl. Waluh No 12, Malabar,
Kecamatan Lengkong,
Kota Bandung, Indonesia
bisniskoranmandala@gmail.com