Selain itu dia juga mencoba menghitung dengan rumus kuantitas uang yang paling terkenal adalah Persamaan Pertukaran Irving Fisher yaitu MV = PT atau MV = PY.
Dalam rumus ini, M adalah jumlah uang beredar, V adalah kecepatan peredaran uang, P adalah tingkat harga umum, dan T (atau Y) adalah jumlah barang/jasa yang ditransaksikan atau PDB riil.
Persamaan ini menunjukkan hubungan langsung antara jumlah uang beredar dan tingkat harga.
Menurutnya, ada dua kemungkinan ketika jumlah uang beredar meningkat. Pertama, jika mendorong output (Y), maka PDB naik dan ekonomi tumbuh sehat. Kedua, jika justru memicu kenaikan harga (P), maka yang terjadi adalah inflasi.
“Makanya harus hati-hati. Kalau Y yang naik, bagus. Tapi kalau P yang naik, harga barang melonjak, jadi inflasi. Itu berbahaya,” paparnya.
Alif menekankan, kunci ada pada penyaluran kredit perbankan. Dana Rp200 triliun itu harus diarahkan ke sektor-sektor produktif seperti pembangunan pabrik, pertanian, atau infrastruktur.
“Kalau larinya ke konsumsi berlebihan atau spekulasi beli tanah, saham, atau properti efeknya bisa negatif. Harus dipantau benar agar dana ini menggerakkan ekonomi riil, bukan sekadar memperkaya sektor spekulatif,” tutupnya.
Kalkulasi matematis yang disodorkan Alif memberi perspektif baru: kebijakan besar pemerintah tidak hanya soal angka dalam APBN, tetapi juga tentang bagaimana uang itu bergerak dalam sistem.
Dan di situlah pertaruhan besar, apakah Rp200 triliun ini akan benar-benar jadi obat bagi ekonomi Indonesia, atau malah racun inflasi.






